Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penyebab Partai Demokrat Semakin Terpuruk adalah SBY

18 Juni 2012   17:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48 2515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13400371201731698065

[caption id="attachment_183382" align="aligncenter" width="565" caption="Grafik yang menunjukkan semakin merosotnya dukungan publik terhadap Partai Demokrat berdasarkan hasil survei LSI yang diumumkan pada Minggu, 17 Juni 2012 (Sumber: Tribunnews.com)"][/caption]

Partai Demokrat dan Papua kini sama-sama memanas. Jika Presiden NKRI, Soesilo Bambang Yudhiyono ditanyakan, pilih yang mana yang dijadikan prioritas untuk ditangani, maka tanpa ragu sedikitpun dia akan menjawab (mungkin sambil mengacungkan tinjunya ke udara): Partai Demokrat!

Ini bukan berandai-andai, tapi sudah jadi kenyataan. Lihat saja, faktanya memang begitu, kan? Masalah sosial, ekonomi, politik, dan keamanan di Papua sudah sedemikian lama. Semakin lama semakin gawat, bukan tidak mungkin kondisi seperti ini akan mengarah kepada kondisi seperti di Timor-Timur tempo hari. Muaranya, seperti Timor-Timur, Papua lepas dari NKRI!

Sudah banyak pihak yang berseru kepada SBY, sebagai Presiden NKRI untuk segera lebih memusatkan perhatiannya ke masalah Papua. Kehadiran seorang Presiden sangat diperlukan di sana. Tetapi, semua seruan itu mubazir. SBY mempunyai prinsip sendiri: Partai Demokrat adalah segala-galanya!

Bukankah SBY sendiri pernah berpidato, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di pertengahan 2011 lalu, di hadapan ribuan kadernya dengan menyerukan bahwa citra partai adalah segala-galanya? Kalau dibandingkan, bagi SBY, masalah Partai Demokrat ada di urutan pertama, sedangkan masalah Papua ada di urutan kedua, atau urutan ke sekian. Apalagi kondisi Partai Demokrat seperti sekarang ini, popularitasnya semakin lama semakin menurun. Citranya semakin rusak. SBY merasa, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, terpanggil untuk menyelamatkan parpolnya, ketimbang sebagai Presiden NKRI, terpanggil untuk menyelamatkan Papua. Ironis sekali, pilihannya itu justru menjadi bumerang bagi dirinya, maupun bagi parpol yang ingin diselamatkan itu. Maksud hati ingin menyelamatkan Partai Demokrat, tetapi yang dia lakukan justru akan semakin memperpuruk parpol-nya itu.

Hasil survei yang dipublikasikan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), pada Minggu, 17 Juni 2012, mengisyaratkan bahwa di Pemilu 2014, Partai Demokrat terancam merosot dari parpol besar menjadi parpol tengah, atau lebih buruk lagi, menjadi parpol gurem. Bahkan, mereka juga sampai sekarang belum punya (tidak punya?) calon presiden yang meyakinkan.

Survei tersebut menunjukkan pilihan publik terhadap Partai Demokrat tersisa 11,3 persen. Bandingkan dengan pada Januari 2011, yakni 20,5 persen. Lalu, Juni 2011 turun ke 15,5 persen, Januari 2012: merosot ke 13,7 persen. Dan, yang terkini, 17 Juni 2012, hanya tersisa 11,3 persen. Sedikit lagi, merosot ke angka di bawah 10 persen. Kalau sampai di bawah 10 persen, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Hayono Isman sendiri bilang, akan sangat sulit untuk mengangkatnya kembali. Apalagi untuk bisa kompetetif di Pemilu 2014 nanti.

Menurut Adjie Alfaraby dari LSI, ada tiga faktor yang menjadi penyebab keterpurukan Partai Demokrat, yakni (Kompas, Senin, 18/06/2012):

1.Partai ini tersandera kasus korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang, Sumatera Selatan, dan pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Bogor.

2.Ada kekecewaan publik terhadap kinerja dan kepimpinan SBY di pemerintahan, dan

3.Partai Demokrat akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan urusan internal di saat partai lain mulai aktif menjalankan program-programnya.

Faktor-faktor inilah, terutama yang ketiga, yang saya maksudkan sebagai pilihan SBY yang (akan) menjadi bumerang penghancur bagi Partai Demokrat yang begitu dicintai dan mau diselamatkan itu. Alih-alih menyelamatkan parpol yang didirikannya itu, pilihan dan tindakan SBY itu justru berpotensi membawa dukungan publik terhadap Demokrat akan semakin terjun bebas ke angka di bawah 10 persen!

SBY begitu antusias dan mati-matian ingin Partai Demokrat selamat, sehingga bisa tetap menjadi parpol besar, sehingga beraneka problem bangsa dan negara yang sangat memerlukan kehadiran seorang pimpinan bangsa, malah diabaikan, antara lain seperti kasus-kasus korupsi, intoleransi, dan problem Papua, yang saat ini semakin menjadi problem bangsa dan negara yang sangat rumit dan kompleks.

Hal ini semakin diperburuk dengan sikapnya yang sangat peragu, tidak berani tegas dan tidak bisa cepat dalam menyelesaikan setiap problem. Baik itu problem bangsa dan negara, maupun problem parpol-nya sendiri.

Bagaimana bisa mampu menyelamatkan Partai Demokrat, kalau terhadap kader-kader yang SBY nilai sendiri sebagai kader-kader yang merusak partai karena korupsi (disampaikan di dalam pidatonya di acara silahturahim para pendiri Demokrat beberapa waktu lalu, yang tidak mengundang Ketua Umum Anas Urabingrum), SBY tidak punya nyali untuk bertindak secara tegas, cepat dan nyata. Dia hanya berani berseru: “Kader Demokrat yang terlibat korupsi harus mundur!”

Sedangkan para bawahannya di parpol pun, sama tidak punya nyalinya untuk menyebutkan siapa-siapa saja kader yang SBY maksudkan itu. Mereka hanya bilang, seruan SBY itu tidak ditujukan spesifik kepada kader tertentu, tetapi bersifat umum (padahal semua orang tahu, yang dimaksud adalah Anas). Kalau seruan SBY itu bersifat umum, untuk apa capek-capek melakukan silahturahim yang katanya salah satu agendanya untuk menyelamatkan partai itu? Untuk apa berseru-seru seperti itu, karena pasti tidak akan ada kader Demokrat yang mau mundur. Sebab mereka tidak merasa sebagai koruptor. Untuk mengatasi hal inilah diperlukan aksi dan ketegasan nyata dari seorang Ketua Dewan Pembina (SBY).

“Jika Yudoyono bertindak tegas layaknya pemegang komando, lalu melakukan pembersihan partai dan cepat melakukan konsilidasi, Partai Demokrat masih dapat kompetitif di Pemilu 2012,” kata Adjie Alfaraby (Kompas, Senin, 18/06/2012). Tetapi, faktanya, SBY tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal demikian.

Maka, sempurnahlah jalan Partai Demokrat menuju keterpurukkan yang semakin dalam, di tangan SBY, yang justru bertekad bulat mau menyelamatkannya. Antara keinginan dan perbuatan tidak sinkron.

Maka rakyat pun menjadi semakin lama semakin antipati, dan semakin lama semakin kehilangan harapan dari seorang Presiden NKRI yang bernama Susilo Bambang Yudhiyono ini. Rakyat pun menghukumnya dan sekaligus parpol-nya, dengan menentukan pilihan mereka, untuk tidak lagi memilih Partai Demokrat di Pemilu 2014.

Demikian juga rakyat memutuskan, tidak ada calon presiden dari kader Demokrat yang bisa lebih dipercaya daripada calon presiden lain (dari parpol lain). Apabila ini benar-benar terjadi, Partai Demokrat akan benar-benar berubah menjadi partai tengah, atau bahkan menjadi parpol gurem. Gara-garanya adalah Ketua Dewan Pembinanya, yang merangkap Presiden NKRI itu, mengabaikan tugas utamanya sebagai pimpinan bangsa dan negara, karena terlalu sibuk, dan lebih mementingkan menyelesaikan problem di parpolnya itu.

Inilah bukti paling nyata, begitu destruktifnya rangkap jabatan pejabat negara (presiden) sekaligus pengurus/petinggi parpol (ketua dewan pembina, ketua umum, dan seterusnya).

Di Indonesia hal ini sah-sah saja. Padahal konflik kepentingan pasti terjadi dalam berbagai skala. Daya destruktifnya bagi kepentingan bangsa dan negara akan begitu terasa, kalau orang tersebut tidak mempunyai jiwa negarawan. Sehingga ketika berada pada posisi harus memilih salah satu, mana yang harus diprioritaskan, persoalan parpol-nya, ataukah persoalan (genting) negara. Maka, dia akan memilih memprioritaskan problem parpolnya. Pikirnya, biarlah untuk problem negara, para pembantunya yang mengurusnya. Itulah yang sedang terjadi di NKRI ini. Seperti pilihan yang saya sebutkan di atas, kalau harus memilih salah satu: Prioritaskan masalah Papua, ataukah masalah parpol? Pimpinan yang bukan negarawan, pasti akan memilih yang kedua. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun