Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

"Majalah Tempo Sudah Sangat Keterlaluan!"

6 Juli 2011   02:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 24459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pejabat (tinggi) negara, para politikus, termasuk anggota DPRsekarang ini kemungkinan besar menyesal karena dulu terlalu bersemangat mendukung semangat reformasi dan kampanye antikorupsi, yang di antaranya terbentuknya lembaga antikorupsi yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meskipun saat ini, di bawah Ketuanya yang baru dalam menghadapi beberapa tokoh tertentu kelihatannya KPK sedikit (demi sedikit?) kehilangan power-nya, namun secara umum KPK masih merupakan lembaga yang paling ditakuti oleh para tikus berkaki dua yang berprofesi dalam dunia politik dan jabatan negara itu.

Mereka ini termasuk golongan yang dulunya kelihatannya bersih dan jujur (karena pernyataan-pernyataan dan aksi-aksi antikorupsinya), tetapi sesungguhnya apa yang kelihatan itu belum teruji. Karena mereka belum mempunyai kesempatan untuk mencuri. Seseorang baru benar-benar bisa kita katakan bersih dan jujur apabila dia mempunyai (banyak) kesempatan untuk mencuri, tetapi itu tidak mau dia lakukan. Bukan semata-mata karena takut hukum, tetapi lebih karena mau mendengar hatinuraninya.

Nah, orang-orang inilah yang sekarang menyesal bukan kepalang karena terlalu tempo hari terlalu bersemangat dan ikut mendukung dibentuknya KPK.

Sekarang, setelah mereka merasa nikmatnya kekuasaan dan uang, ternyata tidak bisa menahan godaan (keserakahan) itu. Maka, apa yang tempo hari mereka perangi dengan kata dan aksi, semua dilakukannya. Bahkan jauh lebih licik, lebih rakus, lebih serakah, lebih tidak tahu malu, lebih jahat, dan seterusnya daripada para pelaku sebelumnya.

Fenomena ini semakin diperparah dengan negara ini dipimpin oleh Presiden yang sangat lemah, tidak punya prinsip yang tegas dan konsekuensif, kalau tidak mau dikatakan malah baik secara langsung, maupun tidak justru menyuburkan praktek-praktek jahat para tikus berkaki dua itu.

Sekarang, mereka menyesal bukanmain, karena ternyata KPK sekarang benar-benar menjadi horor bagi mereka. Seperti bumerang bagi mereka. Dulu, mungkin mereka beranggapan bahwa KPK akan menjadi seperti lembaga-lembaga antikorupsi sebelumnya, yang hanya sebagai lembaga macan ompong belaka. Maka dari itu tidak heran orang-orang yang sama sekarang ini juga sedang berupaya untuk mempreteli sebagian kekuatan KPK lewat pembentukan undang-undang yang hendak direvisi.

Mungkinkah golongan ini termasuk SBY yang sempat “keceplosan” mengkritik (memperingatkan?) KPK, dengan kata-kata: ”Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go uncheck. KPK ini sudahpowerholderyangluar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati,” (Kompas, 24 Juni 2009)

Pada perkembangan peristiwa yang terakhir bisa jadi fenomena ini muncul kembali. Yakni, ketika KPK melakukan penyidikan di kantor mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang konon sudah kabur ke Singapura. Dalam penyidikan tersebut KPK lagi-lagi menemukan sesuatu yang mengejutkan.

Dalam data perusahaan Nazaruddin yang disita penyidik KPK, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Komisaris Jenderal Ito Sumardi tercatat sebagai penerima duit sejumlah 50 ribu Dollar AS. Selain itu masih ada Komisaris Besar Yurod Saleh, Direktur Penyidikan pada Deputi Penindakan KPK. Mantan analis utama di Badan Reserse Kriminal di Markas Besar Kepolisian – bekas anak buah Ito –ini berhubungan akrab dengan Komisaris Besar Yan Fikri Halimansyah, Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang disebut-sebut menerima Rp 4 miliar dari Nazaruddin.

Demikian antara lain berita dari Majalah Tempo terbaru (edisi 4-10 Juli 2011).

Meskipun KPK dalam penyidikannya menemukan data tersebut, kalau saja Tempo tidak mengangkatnya sebagai berita utama, lengkap dengan hasil laporan investigasinya, mungkin berita ini tidak seheboh sekarang.

Ini bukan pertamakalinya Majalah Tempo “berulah” dengan laporan utama dan reportase investigasinya, yang isinya membuat banyak pejabat tinggi negara dan para politikus kaliber paus menjadi gerah, gelisah bukan main, stress menjurus depresi, makan dan tidur tidak enak, dan seterusnya.

Sama dengan para pejabat tinggi negara dan para politikus kakap korup yang menyesali dulu ikut mendukung terbentuknya KPK, orang-orang yang sama ini mungkin sekali juga menyesal majalah yang paling dibenci rezim Orde Baru ini, kok hidup lagi. Setelah di era rezim Orde Baru sempat dimatikan. Seandainya dulu majalah ini setelah dimatikan rezim Soeharto, tidak pernah hidup lagi, mungkin sekali keadaannya tidak seperti sekarang. Praktek kotor mereka bisa dilakukan dengan jauh lebih aman, karena tak terendus media massa. Begitu angan-angan mereka.

Majalah Tempo sejak dahulu kala belum juga berubah. Meskipun mati dan bangkit beberapakali di era rezim Orde Baru, sampai sekarang tetap saja suka membuat para penguasa dan pengusaha, serta politikus korup marah. Karena sudah banyak kali menurunkan reportase investigasinya yang membuka banyak praktek kotor kaumnya.

Sudah entah berapa banyak Tempo dengan reportase investigasinya itu membuka banyak kebobrokan di negeri ini. Rasanya, sampai saat ini belum ada duanya media yang mempunyai prestasi yang sama. Termasuk Harian Kompas dengan slogan “Amanat Hati Nurani Rakyat”-nya.

Tidak berlebihan jika dikatakan Tempo mempunyai banyak jasanya dalam hal ini. Tanpa Tempo besar kemungkinan banyak peristiwa aib yang dilakukan para penguasa, pengusaha, dan para politikus kelas kakap sampai paus, termasuk parpol secara institusi, tidak kita ketahui.

Misalnya, pengungkapan oleh Tempo,kasus di tahun 1992 tentang pembelian 39 unit kapal perang rongsokan eks-Jerman Timur oleh B.J. Habibie, Menristek dan anak emas Presiden Soeharto pada waktu itu, yang merugikan negara sampai 560 juta Dollar AS (menyebabkan Majalah Tempo dibredel), kasus korupsi Akbar Tandjung sebesar Rp 40 miliar, dugaan penggelapan pajak sampai triliuan rupiah oleh Asian Agro dan tiga perusahaan Grup Bakrie, Aburizal Bakrie sebagai sponsor utama dan terbesar melampui batas ketentuan hukum dalam kampanye pilpres SBY (membuat SBY berhutang budi dan “takut” kepadanya), dan lain-lain.

Dalam renggang waktu beberapa bulan sebelumnya dari saat ini saja, misalnya, kita dapat mengetahui banyak hal busuk dari perilaku para pejabat tikus berkaki dua itu dari laporan investigasi Tempo. Di antaranya:

-Praktek korupsi di tubuh PSSI (“KoruPSSI ..”),

-Rekening Gendut Polisi,

-Percaloan dan makelar anggaran di DPR,

-Kasus Nazaruddin yang kemungkinan melibatkan banyak petinggi Partai Demokrat,

-KKN dalam praktek kuota daging sapi impor oleh PKS (“Daging Berjanggut”),

-Makelar pengurusan izin pengelolaan hutan (KKN) oleh para petinggi PAN, lewat menteri mereka dan jajarannya di Kementerian Kehutanan,

-Fulus Nazaruddin untuk Polisi. ...

13099200711949421324
13099200711949421324
1309920100761100482
1309920100761100482
1309920147738794805
1309920147738794805
1309920158245255356
1309920158245255356
13099202819944518
13099202819944518

13099203571813055845
13099203571813055845

Laporan utama dengan reportase investigasinya yang terakhir ini yang bikin heboh dan membuat gerah pejabat tinggi Kepolisian adalah edisi yang disebutkan terakhir. Yakni mengenai temuan penyidik KPK tentang adanya data yang mencatat aliran dana dari perusahaan milik Nazaruddin ke beberapa pejabat tinggi Kepolisian RI di Markas Besar Polri. Yang paling menarik perhatian adalah nama Komisaris Jenderal Ito Sumardi.

Meskipun temuan tersebut belum tentu benar, dan Tempo memuat bantahan dari Ito Sumardi, tetapi tentu saja tetap kemungkinan besar membuat yang namanya disebut akan mengalami stress bahkan depresi berat. Minimal mengalami kerepotan bukan main. Dan, sesungguhnyayang bersangkutan tidak cukup hanya membantah saja, tetapi harus melakukan klarifikasi yang menyeluruh, seperti meminta KPK dan PPATK memeriksa semua rekening banknya, berikut keluarganya. Bilamana perlu menuntut Tempo di pengadilan untuk kasus pencemaran nama baik. Sebab publik saat ini pasti lebih banyak percaya Tempo, dengan anggapan bahwa pasti majalah sekaliber Tempo tidak asal menurunkan berita semacam ini.

Bagi para tikus besar berkaki dua di negeri ini, Tempo memang sudah patut menjadi “musuh bersama,” karena sudah “sangat keterlaluan.” Gara-gara Tempo cukup banyak praktek kotor para tikus berkaki dua itu terbongkar dan diketahui publik.

Namun demikian masih untung bagi mereka, karena meskipun sudah terbuka dan diketahui publik. Asalkan mereka itu dalam melakukannya itu dalam statusnya sebagai pejabat tinggi negara, atau pejabat tinggi parpol yang sedang berkuasa, atau dalam parpol yang sedang berkuasa,atau dekat dengan penguasa, ditambah dengan semangat persatuan di antara sesama maling negara itu, hukum tidaklah mampu menjangkaunya. Bahkan termasuk KPK pun belum mampu menyentuh mereka secara efektif. Apalagi mungkin Ketua KPK-nya yang sekarang trauma dengan nasib Ketua KPK sebelumnya, Antasari Azhar yang berakhir dengan sangat tragis.

Beruntungklah mereka, karena berkuasa dan melakukannya di negara yang terkenal dengan sarang koruptornya. Dalam lingkungan mereka sendiri, sarang koruptor tersebut tentu saja, mereka semua aman-aman saja. Tidak perlu terlalu khawatir. Sesama koruptor dilarang saling mengganggu. Biarlah yang menengah atau kecil-kecil yang dijadikan tumbal saja. Biarlah lingkungan di luar sarang mereka itu hingar-bengar, toh mereka tak bakalan tersentuh, “The Untouchable.” Sampai tiba saatnya Tuhan-lah yang akan “menyentuh” mereka!. ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun