Kalau kita bertanya kepada mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rasamala Aritonang dan mantan juru bicara KPK Febri Diansyah, apakah mereka bersedia menjadi pengacara pembela koruptor, apalagi yang kelas kakap? Kemungkinan besar mereka akan langsung menolaknya, dengan berbagai alasan idealis berlandaskan etika dan moral. Â Karena mereka adalah mantan pegawai KPK yang sangat anti koruptor, dan masih terus menyuarakan idealisme antikorupsinya, meski sudah tidak lagi sebagai pegawai KPK.
Tetapi, pada 28 September 2022, kenapa mereka justru bersedia menjadi pengacara pembela Ferdy Sambo, tersangka otak dari pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofrisyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), -- ajudannya sendiri --, dan istrinya, Putri Candrawathi, yang juga tersangka pada kasus yang sama?
Seolah berbagi tugas, Rasamala Aritonang menjadi pengacara Ferdy Sambo, sedangkan Febri Diansyah menjadi pengacara Putri Candrawathi.
Bukan Pembunuhan Berencana Biasa
Padahal, kasus pembunuhan berencana tersebut bukan kasus pembunuhan biasa. Karena tersangka otak pelakunya adalah seorang perwira tinggi  Polri berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen) dengan jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Kadiv Propam Polri). Ia bukan hanya sebagai tersangka otak pembunuhan berencana itu, tetapi juga sebagai tersangka utama pelaku tindak pidana obstruction of justice (penghalangan proses hukum) dari kasus tersebut. Â
Sebelumnya, ia telah melakukan pembohongan secara nasional dengan membuat laporan palsu kepada polisi mengenai penyebab tewasnya Brigadir Yosua. Bahwa Yosua telah melakukan pelecehan seksual terhadap istrinya, lalu terjadi tembak-menembak antara Yosua dengan ajudannya yang lain, Bharada Richard Eliezer (Bharada E). Berujung pada tertembaknya Yosua sampai tewas. Saat kejadian ia mengaku tidak berada di TKP.
Sedangkan Putri Candrawathi sebagai tersangka yang turut serta merencanakan sampai terlaksananya pembunuhan tersebut. Ia diduga ikut merekayasa kasus, mengaburkan kejadian sebenarnya dengan mengikuti skenario suaminya, dengan membuat laporan palsu ke polisi tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh almarhum Yosua kepadanya di TKP dibunuhnya Yosua untuk melengkapi skenario dan laporan palsu suaminya itu.
Semua skenario palsu, rekayasa kasus, pembohongan, dan tindak pidana obstruction of justice yang dilakukan oleh tersangka sepasang suami-istri itu demi melepaskan mereka dari tanggung jawab dan jerat hukum akibat perbuatan mereka sendiri.
Divisi Propam Polri adalah divisi khusus di institusi Polri yang bertanggungjawab pada masalah pembinaan profisi dan pengamanan masalah dalam internal organisasi Polri. Di bawah divisi ini ada satuan bernama Provos Polri, yang bertugas membantu pimpinannya untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Polri.
Namun, pada kasus ini justru pimpinan tertingginya-lah, seorang Kadiv Propam Polri, yang tersangka otak dan pelaku pembunuhan berencana. Tidak hanya itu, ia juga merekayasa kasus, mengaburkan kasus sebenarnya, melakukan pembohongan nasional dengan memanfaatkan jabatan dan wewenangnya, demi menyelamatkan dirinya sendiri bersama istrinya dari tanggung jawab dan jerat hukum. Â
Dalam upayanya itu ia memanfaatkan jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri, memerintahkan para bawahannya; tujuh Kepala Biro di Divisi Propam, dengan menyeret puluhan anggota Polri di bawah mereka (total ada 96 polisi), untuk mendukung rekayasa  kasus versinya itu. Dengan mengaburkan dan menghilangkan bukti-bukti di dan di sekitar TKP, seperti sejumlah DVR CCTV yang dirusak dan dihilangkan atas perintahnya, dan lain sebagainya.
Setelah pembunuhan berencana itu terjadi, Ferdy Sambo juga diketahui mengumpulkan enam Kepala Biro Divisi Propam untuk dibrifing menyusun skenario palsu tewasnya Brigadir Yosua, yang kemudian diumumkan secara resmi kepada publik.
Enam kepala biro di Divisi Propam Polri itu: Kepala Biro Pengamanan Internal Brigjen Hendra Kurniawan, Kepala Detasemen A Biro Pengamanan Kombes Agus Nurpatria, Kepala Sub-Bagian Audit Biro Pertanggungjawaban Profesi Komisaris  Chuck Putranto, Kepala Sub-Bagian Pemeriksaan Biro Pertanggungjawaban Profesi Komisaris Baiquni Wibowo, Kepala Sub-Unit I Sub Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Ajun Komisaris Irfan Widyanto, dan Wakil Kepala Detasemen B Biro Pengamanan Internal Ajun Komisaris Besar Arif Rachman Arifin, semuanya telah dipecat secara tidak hormat sebagai polisi dan juga menjadi tersangka obstruction of justice.
Dari 96 anggota polisi itu, 35 di antaranya harus mengikuti sidang Komisi Kode Etik Polri. Sampai dengan 30/9/2022, dari 35 polisi itu, sudah 18 anggota polisi yang disidang etik dan dijatuhi sanksi. Sanksi-sanksi itu, mulai yang teringan, yaitu pembinaan dan penempatan khusus, demosi, hingga terberat berupa pemecatan secara tidak hormat sebagai anggota Polri. Â
Sampai dengan 30/9/2022, mantan Kepala Satuan (Kasat) Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Ridwan Rhekynellson Soplanit adalah anggota Polri ke-18 yang dijatuhi sanksi. Ia disanksi mutasi bersifat demosi selama 8 tahun. Sanksi demosi adalah sanksi pemindahan anggota polisi dari jabatan yang sedang diemban ke jabatan yang lebih rendah, atau tidak diberi jabatan apapun lagi.
Seandainya saja benar Brigadir Yosua telah melakukan pelecehan seksual terhadap istrinya, sebagai seorang polisi, apalagi seorang Jenderal dengan jabatan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo seharusnya bisa mengendalikan emosinya. Mereka seharusnya hanya perlu melaporkan Yosua ke polisi. Dengan pangkat dan jabatannya itu, polisi setempat pasti dengan seketika menindaklanjuti laporan dari atasannya sendiri itu. Â Bukan malah secara sedemikian fatal ia main hakim sendiri dengan membunuh pelakunya. Apalagi diikuti dengan upaya menutupi perbuatannya itu dengan membuat skenario palsu.Â
Di awal peristiwa itu diketahui publik, Ferdy Sambo, dan juga istrinya, menyatakan pembunuhan yang dilakukan itu demi harkat dan martabat keluarga mereka. Tetapi, justru pembunuhan yang mereka lakukan itu telah merusak dengan sangat parah harkat dan martabat keluarga mereka. Betapa tidak, anak-anak mereka pasti sangat trauma dan malu kedua orangtuanya kini berpredikat sebagai tersangka pembunuh. Â
Dengan rentetan perbuatannya itu, merancang pembunuhan itu, mengeksekusinya, lalu berupaya menutupnya dengan memanfaatkan kekuasaan jabatannya, rekayasa kasus atau skenario palsu dengan melibatkan sejumlah perwira dan anggota Polri lainnya itu, benar-benar merusak harkat dan martabat institusi Polri sampai ke tingkat paling rendah yang belum pernah terjadi sejak Polri berdiri.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam konferensi persnya di Mabes Polri, Â pada 30 September 2022, mengakui bahwa kasus pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo itu betul-betul sangat menggerus kepercayaan publik terhadap Polri.
"Kami sadar bahwa dampak dari kasus ini betul-betul menggerus kepercayaan publik terhadap Polri," katanya.
Pada 26 September 2022, Presiden Jokowi telah menandatangani berkas pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) Ferdy Sambo. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, mulai saat itu juga secara resmi Ferdy Sambo bukan lagi anggota Polri.
Perkembangan terkini, berkas perkara para tersangka telah dinyatakan lengkap atau P21 oleh Kejaksaan Agung. Artinya, para tersangka akan segera diadili dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Kapolri berjanji, kasus ini akan diungkap seterang-terangnya dan para pihak yang terlibat bakal diganjar hukuman adil.
"Sesuai dengan komitmen kami untuk memproses secara tegas, transparan, tidak pandang bulu, tidak ada yang ditutupi, sesuai dengan apa yang menjadi perintah dari Bapak Presiden," katanya.
Sigit berkomitmen pihaknya terus mengupayakan langkah-langkah perbaikan dan evaluasi, baik di bidang struktural, instrumental, maupun kultural demi memperbaiki Polri (dari kerusakan parah yang telah dilakukan oleh Ferdy Sambo dan kawan-kawannya itu).
Uraian di atas untuk menjelaskan betapa kasus pembunuhan berencana yang diotaki oleh Ferdy Sambo itu, serta kasus turunannya seperti obstruction of justice, itu bukan kasus pembunuhan berencana pada umumnya. Tak berlebihan jika dikatakan, perbuatannya itu bahkan bisa dikatakan lebih jahat daripada kejahatan korupsi.
Belum lagi dengan isu sejumlah mafia yang dibeking oleh sejumlah perwira tinggi dan menengah Polri yang bernama 'Konsorsium 303", yang beromzet triliunan rupiah per tahun. Â
Isu Konsorsium 303 itu sempat beredar luas di media sosial di saat Mabes Polri sedang sibuk mengusut pembunuhan Brigadir Yosua, yang disangkakan diotaki dan dilakukan oleh Ferdy sambo. Isu itu berupa grafik data-data perwira tinggi dan menengah Polri aktif sebagai pembeking bisnis ilegal seperti perjudian, prostitusi, tambang ilegal, minuman keras, penyeludupan suku cadang palsu, hingga solar subsidi, dengan nama "Konsorsium 303", dengan "Kaisar Sambo" sebagai pimpinan tertingginya.
Andai Saja Skenario Sambo Lolos
Andai saja semua skenario mereka itu berjalan mulus, bisa dibayangkan bagaimana tersangka penjahat-penjahat dengan status sosial yang begitu tinggi bisa lolos dari hukuman, dan melanjutkan kehidupan mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Karier Ferdy Sambo bisa terus melesat, bersinar semakin terang. Naik pangkat sampai Jenderal bintang empat, bahkan bukan tak mungkin menjadi Kapolri, sebagaimana konon ambisinya! Bayangkan seorang tersangka otak pembunuhan berencana, yang tangannya pernah berlumur darah menjadi Kapolri!
***
Himbauan Para Mantan Kolega
Maka dari itu, wajar publik terkejut dengan keputusan mantan penyidik KPK Rasamala Aritonang dan mantan juru bicara KPK Febri Diansyah menjadi pengacara mantan perwira tinggi Polri Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi itu.
Bekas beberapa kolega mereka di KPK, yang dulu sekutu dalam memperjuangkan dan melawan ketidakberesan kepimpinan di KPK pun terkejut, dan kecewa dengan keputusan kedua rekannya itu. Mereka menyarankan Rasamala dan Febri untuk mengundurkan diri.
Mantan penyidik KPK Novel Baswedan, pada 28/9/2022, langsung mencuit rasa terkejut dan kecewanya itu di akun Twitter-nya, @nazaqistsha, Â dengan mention ke Febri dan Rasamala. Cuitannya:
"Sebagai teman saya kaget & kecewa dengan sikap @febridiansyah & @RasamalaArt yang mau menjadi kuasa hukum PC & FS.".
Novel mengatakan, justru kepentingan korban yang penting dibela (bukan kepentingan pelaku) termasuk mereka yang menghalangi dan merekayasa kasus tersebut.
"Justru kepentingan korban yang penting dibela, termasuk memastikan semua pihak yg menghalangi / merekayasa kasus diusut tuntas. Agar tidak terjadi lagi."
Mantan penyidik KPK lainnya, Yudi Purnomo, juga bersuara senada. Ia berharap dua mantan rekannya itu mendengarkan suara publik, mundur sebagai pengacara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Ia mencuit di akun Twitter-nya, @yudiharahap46, pada 28/9/2022:
"Saya hormati putusan Da @febridiansyah dan @RasamalaArt, namun berharap mereka bisa mendengarkan suara publik, mau mengubah keputusannya dan mundur menjadi penasihat hukum para tersangka."
"Karena reaksi publik saat ini cendrung negatif karena mereka berdua merupakan tokoh kepercayaan publik."
Sedangkan Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute, wadah para mantan penyidik KPK, melalui Ketuanya, Praswad Nugraha, menyatakan kepada Kompas TV (28/9/2022) bahwa IM57+ Institute tidak berkaitan apapun dengan keputusan Rasamala Aritonang menjadi penasihat hukum Ferdy Sambo.
Praswad menegaskan, IM57+ Institute tidak ingin abu-abu menyikapi Rasamala Aritonang yang menjadi penasihat hukum Ferdy Sambo. Sebab, katanya, IM57+ Institute mempunyai posisi yang tegas, terang, dan jelas dalam melihat kasus Ferdy Sambo.
"Kasus Ferdy Sambo merepresentasikan persoalan integritas yang sangat serius dan darurat dalam tubuh penegak hukum," katanya.
Maka itu, Praswad pun berharap, pengusutan tuntas kasus bekas Kadiv Propam Polri tersebut tidak hanya berhenti pada kasus pembunuhan. Namun juga secara komprehensif pada kasus obstruction of justice, dugaan percobaan suap yang diduga dilakukan oleh Ferdy Sambo melalui ajudannya kepada LPSK, dugaan upaya suapnya kepada 2 ajudannya dan 1 asisten rumah tangganya, dan soal laporan pidana palsu hingga dugaan keterlibatannya dalam Satgas Merah Putih.
Sedangkan Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan keputusan Febri bergabung untuk membela Ferdy Sambo dan Putri dalam kasus pembunuhan berencana, merupakan langkah yang gegabah.
"Keputusan untuk mendampingi proses hukum seseorang yang diduga melakukan pembunuhan berencana dan cenderung tak kooperatif pada proses hukum merupakan langkah yang amat gegabah," ujar Kurnia dalam keterangannya kepada media (30/9/2022).
"Kami menyayangkan pilihan tersebut akhirnya diambil Febri. Adapun dengan narasi akan selalu berpihak pada korban kejahatan, harusnya Febri tidak mengambil keputusan untuk mendampingi tersangka pembunuhan berencana seperti istri Ferdy Sambo," jelasnya.
Merespon semua himbauan untuk mundur itu, Rasamala dan Febri menyatakan mereka menghargai himbauan tersebut, namun mereka berketetapan untuk tetap menjadi pengacara Ferdy Sambo dan istrinya itu.
Febri pun berjanji akan memberikan pendampingan secara objektif dalam perkara ini. Sedangkan Rasamala menyatakan pilihan bersedia membela Ferdy Sambo karena mantan Kadiv Propam Polri itu mengaku bersedia mengungkap fakta yang sebenarnya tentang kasus ini di persidangan. Normatif sekali.
"Konsorsium 303"
Pertimbangan lain mereka adalah karena adanya temuan Komnas HAM (dan Komnas Perempuan) yang menyatakan bahwa diduga kuat (memang) Putri Candrawathi telah menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh (almarhum) Brigadir Yosua.
Padahal dugaan itu selain sarat dengan kejanggalan yang melecehkan nalar, juga sesungguhnya tidak relevan lagi dengan kasus pembunuhan berencana itu sendiri. (Baca 2 tulisan saya sebelumnya: ini dan ini)
Pertanyaannya, kalau terhadap temuan Komnas HAM itu dijadikan salah satu pertimbangan Rasamala dan Febri menerima permintan pihak Ferdy Sambo untuk menjadi pengacara mereka, kenapa dugaan adanya jaringan mafia judi daring (online) Â bernama "Konsorsium 303" yang juga diduga melibatkan melibatkan sejumlah pejabat tinggi Polri, termasuk Ferdy Sambo -- bahkan ia disebut-sebut sebagai pimpinan tertingginya, dengan julukan "Kaisar Sambo", Â tidak menjadi pertimbangan Febri dan Rasamala?
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menduga grafis berjudul "Kaisar Ferdy Sambo dan Konsorsium 303" bukan sekadar bagan biasa. Karena di dalamnya memuat informasi detail  ("akurat") terkait dugaan sejumlah perwira tinggi Polri yang dipimpin Ferdy Sambo, menjadi beking bandar judi.
"Patut diduga informasi ini dipasok dari dalam (kepolisian). Karena informasi itu pasti diperoleh dari suatu hasil penyidikan atau investigasi. Kan yang memiliki kemampuan untuk mengambil data-data itu kepolisian. Itu kan memang kewenangan mereka," katanya (19/8/2022).
Maka itu, Sugeng mendesak Polri agar mendalami skema itu. Namun, dalam proses pendalamannya, kepolisian juga harus menghormati asas praduga tak bersalah. Sebab, belum tentu nama-nama yang disebut di grafis tersebut bersalah.
Isu Konsorsium 303 itu bukan sekadar isu murahan yang tanpa indikasi kebenarannya. Karena informasi dan data-datanya begitu detail. Diduga kuat sumber misterinya itu berasal dari internal Mabes Polri, yang mengetahui keberadaan konsorsium itu, tetapi tidak berani mengungkapnya secara terus terang.
Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, 13 September lalu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, pihaknya mendeteksi ada 121 juta transaksi terkait judi daring dengan nominal mencapai Rp 155 triliun. Banyak pihak terlibat dalam transkasi tersebut, salah satunya oknum polisi. Laporan analisis itu pun disebutnya telah diserahkan ke Polri untuk diproses lebih lanjut. Dari laporan itu Kapolri membentuk tim khusus bekerjasama dengan PPTAK mengusut isu Konsorsium 303.
Dalam konferensi persnya, pada 30 September lalu, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, menjelaskan, sebagai tindak lanjut dari proses penyidikan terkait isu Konsorsium 303 itu, penyidik Polri telah menetapkan 10 tersangka. Dari jumlah itu, 4 orang sudah dicegah bepergian ke luar negeri, sedangkan 6 orang lainnya teridentifikasi berada di luar negeri (di lima negara berbeda). Polri telah meminta interpol menerbitkan red notice (permintaan mencari dan menangkap seseorang yang berada di luar negeri) melalui interpol.
Kapolri juga menjelaskan bahwa tim khusus itu bersama PPTAK Â saat ini masih menganalisis transaksi keuangan yang diduga terkait judi online. "Saat ini ada (rekening) yang sedang kita analisis, ada 329 rekening. Sebanyak 202 rekening sudah kita blokir."
Sebelumnya, pada 18 Agustus 2022, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga pernah berbicara tentang Ferdy Sambo, di kanal You Tube Akbar Faizal Uncensored. Menurut dia, Ferdy Sambo mempunyai dan memimpin suatu kelompok elit di Mabes Polri, yang seperti kerajaan Polri sendiri di dalamnya. Seperti sub-Mabes Polri yang sangat berkuasa.
"Yang jelas ada hambatan-hambatan di dalam secara struktural. Karena ini tak bisa dipungkiri ada kelompok Sambo sendiri ini yang seperti menjadi kerajaan Polri sendiri di dalamnya. Seperti sub-Mabes yang sangat berkuasa," katanya kala itu.
Mahfud tak merinci seperti apa berkuasanya kelompok Ferdy Sambo itu di internal Polri. Ia hanya mengatakan kelompok itu yang sempat menghalang-halangi pengusutan tewasnya Brigadir J sehingga berlarut-larut.
Jaksa dan Hakim akan Dikarantina
Meskipun, Satgas Merah Putih telah dibubarkan Kapolri, Ferdy Sambo telah dipecat secara tidak hormat sebagai anggota polisi (ia bukan polisi lagi), demikian juga dengan sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah anak buahnya, tetapi kelompok mereka masih mempunyai kekuatan besar yang harus diwaspadai.
Kelompok jaringan Ferdy Sambo itu ditenggarai masih mempunyai potensi besar untuk mengintervensi, meneror, mengintiminasi para saksi, maupun jaksa dan hakim, untuk mempengaruhi proses dan vonis hakim kelak.
Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk seperti itu, saksi penting seperti saksi justice collaborator Bharada Richard Eliezer sudah sejak awal berada di bawah perlindungan LPSK.
Demikian juga setelah tanggung jawab para tersangka (Ferdy Sambo cs) diserahkan Polri kepada Kejaksaan Agung, tim jaksa terpilih yang berjumlah 30 orang itu akan dikarantina, dan ponsel mereka akan disadap. Demikian dijelaskan oleh Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak.
"Dalam rangka memastikan Tim JPU bekerja dengan baik, profesional aman, untuk memudahkan koordinasi dan untuk menghindari alasan-alasan teknis dalam proses penuntutan. Selama dikarantina ponsel mereka akan disadap."
"Dalam kasus ini jadi hal yang harus menjadi perhatian antara lain menjaga, melindungi para jaksa yang bertugas agar bekerja dengan profesional dan berintegritas," jelas Barita Simanjuntak pada 1/10/2022.
"Kita sudah koordinasi dengan jampidum agar dipilih jaksa terbaik dan dikarantina agar tidak ada yang meneror, menghubungi dan sebagainya dan itu sudah dilakukan," kata Menko Polhukam Mahfud MD, pada 2/10/2022.
Hal yang sama juga sudah direncanakan oleh Komisi Yudisial (KY) terhadap para hakim yang akan menyidangkan Ferdy Sambo dan para tersangka lainnya itu. Sebagaimana diutarakan oleh Juru Bicara KY Miko Ginting (29/9/2022). Para hakim itu akan dikarantina di sebuah safe house, katanya.
Dari semua uraian di atas, kita bisa mengetahui seperti apa  sosok Ferdy Sambo itu. Dan ironisnya, kini ia justru dibela oleh mantan penyidik KPK dan mantan juru bicara KPK. Yang selama ini dikenal publik sebagai dua sosok berintegritas tinggi dalam hal pemberantasan korupsi.
Kenapa Febri dan Rasamala yang Dipilih?
Kenapa Ferdy Sambo memilih Rasamala dan Febri menjadi pengacara dia dan istrinya?
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, di acara 'Satu Meja the Forum', 30/9/2022, mengatakan, bisa jadi hal itu merupakan strategi Ferdy dan Putri untuk membangun citra positif bagi mereka. Sebab, Febri dan Rasamala dikenal sebagai sosok antikorupsi yang bersih.
Jika memang benar itu alasannya kubu Ferdy Sambo memilih Febri dan Rasamala bergabung dalam tim hukum mereka, berarti sesungguhnya keduanya sedang diperalat atau dimanfaatkan oleh Ferdy dan Putri.
Febri Diansyah yang dikenal bersih diperlukan sebagai pengacara Putri untuk membangun citra positif di mata tim jaksa dan majelis hakim kelak agar mereka bisa dibuat percaya (diyakini) bahwa benar ada pelecehan seksual yang dialami oleh Putri yang dilakukan oleh Brigadir Yosua. Meskipun sebenarnya dugaan pelecehan seksual tersebut penuh dengan berbagai kejanggalan.
Jika jaksa dan hakim bisa diyakini tentang adanya pelecehan seksual itu, maka hal tersebut bisa dijadikan motif yang meringankan hukuman terhadap suaminya, Ferdy Sambo.
Sedangkan Rasamala Aritonang yang dikenal sebagai mantan penyidik KPK yang berintegritas tinggi diperlukan sebagai pengacara Ferdy Sambo untuk bisa meyakini hakim bahwa perintah dan pembunuhan yang dilakukan oleh Ferdy terhadap Brigadir Yosua merupakan suatu spontanitas yang didorong oleh kemarahannya yang luar biasa, setelah mendengar laporan istrinya dilecehkan oleh Yosua. Jadi, bukan direncanakan terlebih dahulu.
Hakim akan dibuat yakin bahwa perintah dan pembunuhan terhadap Yosua oleh Ferdy Sambo itu bukan sebuah pembunuhan berencana, yang diancam dengan hukuman terberat hukuman mati (Pasal 340 KUHP), melainkan pembunuhan biasa yang hanya diancam dengan hukuman terberat 15 tahun penjara (Pasal 1338 KUHP).
Bukan tak mungkin, dengan kehadiran pengacara Rasamala tersebut, juga bisa merupakan nilai plus untuk lebih bisa meyakini hakim bahwa sesungguhnya Ferdy Sambo tidak bersalah dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua itu!
Tim Kuasa Hukum Ferdy Sambo di mana Rasamala Aritonang berada di dalamnya, kemungkinan juga akan berupaya meyakini hakim bahwa sesungguhnya Ferdy Sambo bukan memerintahkan Bharada Eliezer untuk menembak mati Brigadir Yosua, tetapi hanya memberinya pelajaran, dengan hanya menggertaknya, atau  menembaknya di tempat yang tidak mematikan. Tapi Bharada Eliezer yang justru menembak Yosua di bagian yang mematikan. Sedangkan Ferdy Sambo sendiri tidak ikut menembak.
Bharada Eliezer bersaksi bahwa setelah ia menembak Yosua, Ferdy Sambo juga ikut menembak (kepala Yosua). Tetapi Ferdy menyangkalnya. Saat rekonstruksi, ia menolak adegan ia ikut menembak Yosua. Saat itu peran Ferdy diganti orang lain untuk adegan Ferdy menembak kepala Yosua.
Jika hakim berhasil diyakini seperti itu, maka tak tertutup kemungkinan Ferdy sambo divonis bebas.
Sebelum menghubungi Rasamala dan Febri, pihak Ferdy Sambo terlebih dahulu menghubungi pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, untuk meminta kesediaannya menjadi pengacara mereka.
Hotman pernah mengaku ia sempat ditawari menjadi pengacara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Ia mengaku sempat tergoda dengan tawaran honor yang sangat besar hingga tak bisa tidur nyenyak selama 3 malam. Tetapi akhirnya, kata dia, dia mengikuti suara hati nuraninya, dengan menolak permintaan tersebut.
Padahal, menjadi pengacara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, selain pasti mendapat popularitas yang tinggi, juga tentu, seperti yang disebut Hotman, honor yang sangat besar.
Popularitas sudah dimiliki Hotman, lebih dari cukup. Ia selama ini selain  sebagai pengacara juga telah menjadi selebritas kelas atas. Mungkin  ia sudah tidak terlalu membutuhkan popularitas lebih tinggi lagi dengan menjadi pengacara Ferdy sambo, tetapi iming-iming honor yang sangat besar? Godaan itu tetap mampu menggodanya. Tetapi, seperti yang disebut di atas, ia akhirnya mengikuti hati nuraninya.
Kalau pengacara sekelas Hotman Paris Hutapea saja bilang iming-iming honornya sangat besar, tentu jumlahnya itu benar-benar sangat besar. (dht).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H