Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revisi Undang-Undang Anti-Terorisme yang Tak Kunjung Selesai

15 Mei 2018   11:55 Diperbarui: 15 Mei 2018   12:05 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo bertolak langsung dari Jakarta menuju Surabaya. Jokowi langsung memantau kondisi tiga gereja yang dibom, Minggu (13/5/2018). (Biro Pers Setpres/ Bey Machmudin)

Berdasarkan keterangan terbaru dari Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera di Surabaya, Senin (14/5/2018), total jumlah korban tewas teror bom (bunuh diri) selama dua hari di Surabaya dan Sidoarjo adalah 28 orang, dengan rincian: di tiga gereja di Surabaya ada 12 orang warga sipil, 6 orang (1 keluarga) pelaku bom bunuh diri, di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo ada 3 orang (sepasang orangtua dan putra sulungnya), dan 4 orang pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya. Ditambah ada 3 orang yang ditembak petugas saat penyergapan.

Sedangkan korban luka-luka dari warga masyarakat, maupun petugas kepolisian berjumlah 57 orang. Di antara korban luka itu ada juga anggota keluarga orang yang diduga menjadi pelaku pengeboman.

Dari peristiwa-peristiwa selama dua hari dengan korban jiwa, maupun luka-luka yang sedemikian banyak, jelas peristiwa serangan teroris kali ini tergolong besar. Padahal selama ini Surabaya dikenal sebagai kota yang paling "steril" dari berbagai serangan teroris.

Alasan Kapolri Mendesak Revisi Undang-Undang Anti-Terorisme Dipercepat

Dengan demikian tak heran jika Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun sangat marah, belum lagi ditambah dengan beberapa hari sebelumnya ada serangan narapidana teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat yang menewaskan 5 orang polisi.

Pasca bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Presiden Jokowi pun sudah memerintahkan Kapolri agar memberantas teroris sampai ke akar-akarnya, Tito pun menghendaki demikian, tetapi apa daya gerakan polisi dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme justru dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Anti-Terorisme).

Menurut Undang-Undang itu, polisi baru bisa menindak (menangkap) jika terduga teroris menjalankan aksinya, atau sudah memiliki/menyimpan perangkat untuk melakukan serangan teror,  jika ia belum menjalankan aksinya, baru semacam membuat perencanaan di atas kertas, misalnya,  meskipun polisi sudah tahu dia anggota teroris polisi tidak bisa melakukan apa-apa.

Oleh karena itulah saat melakukan kunjungan ke Surabaya terkait bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya itu, dalam konferensi persnya yang dilakukan di RS Bhayangkara Jawa Timur, Tito yang yang juga adalah mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPP)  kembali mendesak DPR (dan Kementerian terkait)  agar mau mempercepat penyelesaian revisi Undang-Undang Anti-Terorisme, yang menurutnya sudah setahun belum juga diselesaikan.  

Tito mengatakan, revisi itu sangat diperlukan Polri agar bisa lebih leluasa melakukan penindakan hukum pencegahan, maupun pemberantasan terhadap para terduga teroris, karena selama ini polisi baru bisa menangkap terduga teroris jika ia telah melakukan aksi terorisnya atau jika ia terbukti mempunyai/menyimpan perangkat untuk melancarkan aksi teroris. 

Padahal yang sangat dibutuhkan polisi saat ini adalah landasan hukum untuk juga bisa melakukan penangkapan dan tindakan hukum selanjutnya bagi siapa saja yang telah menjadi anggota dari suatu organisasi atau kelompok teroris terlarang.

Dengan kata lain Undang-Undang Anti-Terorisisme yang sekarang masih bersifat responsif/reaktif yang saat ini sudah  tidak memadai lagi untuk upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme, karena sebelum seseorang melakukan aksi teroris dan belum mempunyai/menyimpan perangkat untuk melakukan serangan teroris ia belum bisa ditangkap, meskipun nyata-nyata dia adalah anggota organisasi/kelompok teroris seperti ISIS,  Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Al-Qaedah, dan lain-lain sejenisnya.

Untuk itulah diperlukan revisi Undang-Undang Anti Teroris untuk mengubahnya menjadi suatu Undang-Undang yang bersifat preventif, dan disesuaikan dengan kondisi sekarang, sehingga tidak perlu menunggu sampai seseorang melakukan serangan atau memiliki/menyimpan perangkat untuk melakukan serangan teroris baru bisa ditangkap, tetapi cukup bila seseorang telah menjadi bagian/anggota dari suatu kelompok teroris, sudah menyusun rencana, dan sudah mempersiapkan diri untuk suatu serangan teror,  ia sudah bisa ditangkap polisi.

Misalnya, sebagaimana dikatakan Tito, polisi sudah mengetahui ada 500 orang yang kembali dari Suriah ke Indonesia itu sudah dibaiat menjadi anggota ISIS, di antara mereka juga sudah dilatih serangan-serangan teror khas ISIS (seperti melibatkan anak-anak, atau satu keluarga), tetapi polisi tidak bisa berbuat apa-apa terhadap mereka karena mereka belum melakukan serangan.

Hitungan Tito untuk angka 500 orang itu tentu sudah berkembang biak dan tersebar di banyak wilayah di Indonesia, karena di antara 500 itu sudah pasti telah menurunkan ilmu yang diperolehnya di Suriah itu kepada pengikut-pengikutnya di Indonesia.

Menurut Tito, polisi juga tak bisa terus-menerus memantau pergerakan mereka, apalagi mereka juga telah dilatih untuk menghilangkan jejak dari pengintaian polisi.

Tito mengatakan, satu keluarga yang melakukan serangan bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya itu termasuk bagian dari 500 orang Indonesia yang baru pulang dari Suriah dan diketahui telah dibaiat menjadi anggota ISIS.

Kepala keluarga itu,Dita Supriyanto adalah pimpinan Jamaah Anshorut Daulah (JAD) cabang Surabaya, berafiliasi ke ISIS. Bagaimana hebatnya doktrinasi yang telah dialami Dita dan istrinya sulit diterima akal sehat anusia normal, bagaimana bisa  mereka begitu tega mengorbankan anak-anak kandung mereka sendiri, yang masih berusia 9, 12, 16 dan 18 tahun itu.

Demikian juga dengan pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya yang juga terdiri dari satu keluarga termasuk seorang bocah perempuan yang secara ajaib selamat dari bom bunuh diri itu.

Itulah alasan utama Tito Karnavian mengharapkan DPR (dan Kementerian terkait)  mempercepat revisi Undang-Undang Anti-Terorisme itu. Saking gregetannya menghadapi teroris yang semakin berani dan meluas menjalankan aksinya itu, Tito sampai mengatakan, bila revisi itu masih terus ditunda, maka ia mengharapkan Presiden Jokowi bisa terbitkan Perppu untuk keperluan tersebut.

"Revisi jangan terlalu lama, sudah satu tahun lebih," kata Tito dalam konferensi pers di RS Bhayangkara Surabaya itu.

"Kita tidak bisa melakukan apa-apa, hanya 7 hari menahan mereka, menginterview, setelah dilepas kita intai. Tapi setelah dilepas mereka kita intai juga menghindar," katanya.

"Undang-undang agar dilakukan cepat revisi, bila perlu Perppu dari Bapak Presiden.," tegas Tito.

Inisiatif diadakan revisi terhadap Undang-Undang Anti-Terorisme itu berawal dari Presiden Jokowi, pasca terjadi bom bunuh diri di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Wacana itu lalu disampaikan kepada DPR, tetapi sebelum akhirnya diterima untuk dibahas,  sempat ditolak oleh beberapa fraksi parpol oposisi Pemerintah.

Tito mengatakan sudah satu tahun revisi itu dilakukan, tetapi sampai sekarang belum juga tuntas. Yang benar, bukan satu tahun, tetapi sudah dua tahun revisi itu mulai dibahas di DPR (sejak Februari 2016), tetapi sampai hari ini belum juga bisa disahkan.

Yang sudah satu tahun itu adalah saat pertama kali Tito mendesak DPR untuk menyelesaikan revisi Undang-Undang Anti-Terorisme itu, yaitu ketika terjadi bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada 24 Mei 2017.

Ketika itu (26/5/2017)  saat mengunjungi korban luka akibat bom bunuh diri itu di RS Polri Kramat Jati, untuk pertama kali Tito secara terbuka mendesak DPR untuk mempercepat revisi Undang-Undang Anti-Terorisme itu. 

Menurut Tito sangat perlu ada tindakan hukum terhadap proses persiapan seorang teroris sebelum melancarkan aksinya. "Kita menghendaki ada kriminalisasi sejumlah perbuatan awal. Peristiwa Rabu malam (24/5/2017) mereka bilang jihad, tapi bagi kita itu adalah tindak pidana terorisme. Konsep mereka tidak ada jihad tanpa i'dad jihad (persiapan)," katanya.

Menurut Tito, dengan dilakukan penindakan pada saat persiapan aksi teror, maka pencegahan terhadap tindak terorisme akan lebih "powelfull". "Jadi memang dari dulu kita suarakan percepatan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ini merupakan penguatan dari Perpu no. 1 tahun 2002 pada saat bom Bali I." (Kompas.com).

Bukan hanya Kapolri Tito Karnavian saja yang menghendaki pembahasan revisi Undang-Undang Anti-Terorisme itu dipercepat, tetapi juga Presiden Jokowi sendiri. Presiden Jokowi bahkan secara tak langsung telah memberi "ultimatum" bahwa apabila sampai dengan Juni 2018 ini, revisi Undang Undang Anti Terorisme itu belum juga selesai dibahas dan disahkan DPR dan Kementerian terkait, maka ia akan menerbitkan Perppu.

Jokowi mengharapkan dalam masa sidang DPR berikut ini (18 Mei 2018) DPR bersama Kementerian terkait sudah membahas revisi Undang-Undang itu, dan harus sudah tuntas paling lambat di akhir masa sidang tersebut (31 Mei 2018).

"Kalau nantinya di bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu," tegas Jokowi (14/5/2018).

Sama dengan Tito, Jokowi juga sejak setahun lalu, saat terjadi bom bunuh diri di Kampung Melayu itu, juga sudah menyatakan keinginannya agar pembahasan revisi Undang-Undang Anti-Terorisme itu segera diselesaikan. Dengan Undang-Undang Anti-Terorisme revisi itu nantinya diharapkan Jokowi dapat memudahkan polisi dalam bertindak dan melakukan upaya pencegahan.

Menurut dia, terorisme telah menjadi masalah di hampir semua negara. Bedanya, di luar negeri, regulasi untuk mencegah aksi teror telah ada. Hal ini memudahkan polisi di sana untuk menghentikan aksi teror sebelum terjadi.

Harapan untuk segera dituntaskan revisi Undang-Undang Anti-Terorisme itu  juga sudah lama datang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk yang sekarang, dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).

Ketua Pansus yang Kontroversial

Namun seperti juga setahun yang lalu, ketika desakan percepatan revisi Undang-Undang Anti Terorisme itu mengemuka, sikap DPR, khususnya partai-partai oposisi Pemerintah adalah reaktif dan defensif. Tidak menyambut baik keinginan Presiden dan Kapolri itu, tetapi justru membela diri sebagai bukan pihak yang membuat pembahasan revisi Undang-Undang itu tidak kunjung selesai, dan justru menyalahkan Pemerintah sebagai penyebabnya.

Terutama sekali dari Partai Gerindra, yang kadernya, Muhammad Syafi'I -- sesuatu yang kontradiksi -- menjadi Ketua Pansus Rancangan Perubahan Undang-Undang Anti-Terorisme itu.

Bahkan ia bereaksi keras ketika mendengar Kapolri Tito Karnavian meminta Presiden Jokowi terbitkan Perppu jika nanti revisi Undang-Undang Anti Terorisme itu belum juga tuntas, dengan meminta Tito mundur sebagai Kapolri karena tidak becus menangani masalah terorisme di Indonesia.

"Jangan lindungi ketidakbecusannya memimpin institusi dengan (minta) Perppu. Sepatutnya dia mundur dari Kapolri biar digantikan orang yang benar-benar profesional yang mampu dengan Undang-Undang yang ada, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003," kata Syafi'i, Minggu (13/5).

Sedangkan kepada Presiden Jokowi, Syafi'I menuding Jokowi salah alamat meminta DPR mempercepat penyelesaian  revisi Undang-Undang itu karena  justru dari pihak Pemerintah-lah yang menyebabkan RUU Perubahan tentang Anti-Terorisme itu belum bisa disahkan karena belum belum sepakat tentang definisi terorisme.

Definisi terorisme yang diusulkan Pemerintah adalah:

"Segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."

Sedangkan berdasarkan rapat terakhir DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU Anti-Terorisme yang baru,  pada 18 April 2018, yang diinginkan DPR adalah mempersempit definisi tindakan terorisme dengan menambahkan frasa "tujuan atau motif politik, ideologi, dan tindakan mengancam keamanan Negara".

Dengan usulan frasa baru itu, poin yang diperdebatkan adalah perlu atau tidaknya penegasan bahwa suatu tindakan terorisme harus didasari motif politik, ideologi, dan tindakan yang mengancam keamanan negara. Pemerintah memandang penegasan seperti itu tidak perlu, tetapi sejumlah fraksi partai politik di DPR menilai perlu.

Dari frasa pernyataan Syafi'i  tersebut di atas, yakni "biar digantikan orang yang benar-benar profesional yang mampu dengan Undang-Undang yang ada, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003" dapat ditafsirkan bahwa memang tiada niat yang tulus dari Syafi'i untuk mendukung revisi Undang-Undang tersebut. 

Artinya, bagi Syafi'I Undang-Undang Anti Terorisme itu tidak perlu diganti, yang diperlukan hanya Kapolri yang sanggup menjalankankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang Anti Terorisme yang sekarang berlaku. Padahal sebagaimana disebutkan di atas Undang-Undang yang sekarang itu bersifat responsif/reaktif bukan preventif sehingga tak bisa dipakai secara maksmial oleh polisi untuk melakukan penindakan sebelum aksi terorisme itu dilakukan.

Sikap Syafi'i itu sangat kontradiksi dengan posisinya sebagai Ketua Pansus Revisi Undang Undang Anti Terorisme, apalagi di waktu yang lalu, masih terkait rancangan revisi Undang-Undang Anti Terorisme,  ada kesan seolah-olah ia justru menunjukkan sikap antipati kepada polisi, khususnya Densus 88, dan sebaliknya bersimpatik kepada teroris.

Muhammad Syafi'i (dpr.go.id)
Muhammad Syafi'i (dpr.go.id)
Menuduh Polisi adalah Teroris yang Sebenarnya

Ketika Densus 88 berhasil membunuh gembong teroris Poso, Amir Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santosa, di Poso, pada Juli 2016, Muhammad Syafi'i justru melontarkan pernyataan tidak senangnya. Ia menuduh polisi (Densus 88) justru adalah teroris yang sebenarnya di Poso, sedangkan Santosa adalah pahlawan bagi rakyat Poso.

Ketika itu (26 Juli 2016) merespon kematian Santosa di tangan Densus 88, Muhammad Syafi'i mengatakan, bagi masyarakat Poso, teror sebenarnya datang dari aparat kepolisian, sebab masyarakat di sana menyimpan dendam yang luar biasa kepada polisi akibat banyaknya aparat yang melakukan pelanggaran HAM berat.

Syafi'i menyebut bahwa jenazah Santoso disambut oleh ribuan orang dari berbagai kalangan di Poso bahkan mereka membawa tulisan selamat datang syuhada sementara di sisi lain, mereka menginginkan agar aparat kepolisian angkat kaki dari kota mereka.

Ketika itu juga (26/7) Kepala Bidang Humas Polda Sulteng AKBP Hari Suprapto merespon tuduhan Muhammad Syafi'i itu, ia mengatakan pernyataan Syayi'i bahwa polisi adalah teroris sebenarnya, telah sangat melukai perasaan ribuan polisi yang telah mengabdi di Poso karena perintah negara dan menjalankan undang-undang.

Hari Suprapto membantah pernyataan-pernyataan Muhammad Syafi'i bahwa warga Poso tidak menginginkan polisi hadir di sana dan masyarakat menyimpan dendam pada polisi, padahal sebaliknya, masyarakat sangat senang dengan kehadiran polisi karena mereka merasa lebih aman dan tenteram untuk beraktivitas sehari-hari.

Ia juga membantah ada ribuan warga orang menyambut jenazah Santoso di Poso Pesisir dan membawa spanduk bertuliskan "selamat datang syuhada." Yang benar adalah warga yang menyambut itu hanya sekitar 150-an orang. Itu pun kebanyakan mereka yang penasaran ingin melihat Santoso dan mereka yang merasa terancam bila tidak hadir di penguburan serta sebagian lagi petugas yang berpakaian preman.

"Warga yang betul-betul simpatisan Santoso yang hadir saat pemakaman paling-paling sekitar 50-an orang," ujarnya. "Spanduk bertuliskan selamat datang syuhada juga hanya ada satu yang diletakkan di kuburan," kata Hari Suprapto (Republika.co.id).

Dari latar belaang itu, maka tak heran Syafi'i terkesan begitu tak suka dengan Kapolri Tito Karnavian yang begitu sangat ingin polisi "powerfull" menghabisi teroris sampai ke akar-akarnya. Sebagai pengingat juga bahwa Tito juga pernah menjadi komandan Densus 88, dan saat Densus 88 berhasil membunuh Santosa di Poso, Tito sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPP) punya andil.

Rekam Jejak Parpol Penolak Revisi

Wacana revisi Undang-Undang Anti Terorisme itu pertama kali datang dari Presiden Jokowi pasca terjadi Bom Thamrin pada 14 Januari 2016, tetapi langsung mendapat penolkan dari Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Aneh tapi nyata, ketika akhirnya rancangan revisi itu diterima DPR, Pansus Revisi Undang-Undang itu dibentuk, ketuanya justru dari Partai Gerindra.

Dalam rekam jejaknya, sejak semula Partai Gerindra memang tidak setuju dengan revisi Undang-Undang Anti Terorisme. Demikian juga dengan PKS dan PAN.  Mereka punya alasan yang pada intinya sama, yaitu revisi  Undang-Undang Anti Terorisme itu belum perlu, karena dengan Undang-Undang yang ada (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003) sudah cukup bagi polisi untuk menanggulangi terorisme. Mereka tutup mata terhadap kenyataan mengenai kelemahan Undang-Undang Anti Teroris 2003 yang membatasi ruang gerak polisi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terorisme sebagaimana diulas di atas.

Sampai sekarang, sesungguhnya Gerindra dan PKS, terutama Gerindra tetap konsisten dengan keengganan mereka untuk merevisi Undang-Undang Anti Terorisme itu, tetapi karena kalah suara di Parlemen, maka, mau tak mau mereka pun mengikutinya.

Hal itu dapat dibaca dari sikap nyinyir petinggi Gerindra sejenis Fadli Zon terhadap setiap upaya percepatan revisi Undang-Undang itu, atau mereka justru memanfaatkan serangan teroris dengan korban jiwa cukup besar itu untuk kepentingan politiknya menyerang Presiden Jokowi, dibumbui lebih dulu dengan basa-basi turut prihatin dengan kejadian itu, diikuti dengan pernyataan sesungguhnya bahwa itu karena Pemerintah lemah, polisi tidak becus, dan sebagainya.

Contoh cuitan nyinyir Fadli Zon di Twitter tentang bom 3 gereja di Surabaya (13/5/2018)
Contoh cuitan nyinyir Fadli Zon di Twitter tentang bom 3 gereja di Surabaya (13/5/2018)
Gerindra, PKS dan PAN, terutama Gerindra selalu mendesak Presiden Jokowi untuk memberantas terorisme, tetapi bersamaan dengan itu enggan untuk merevisi Undang-Undang Anti-Terorisme, padahal revisi itu diperlukan agar polisi bisa lebih maksimal, bisa "powerfull" melakukan pencegahan dan pemberantasan terorisme itu. 

Dengan demikian bisa diduga bahwa Gerindra sengaja memanfaatkan serangan-serangan teroris itu untuk membuktikan bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi tak mampu melakukan pencegahan dan pemeberantasan terorisme itu secara efektif. 

Jika Undang-Undang itu direvisi sesuai keinginan Pemerintah, dan berdasarkan itu Presiden Jokowi sukses memberantas teroris, nama Jokowi akan semakin menjulang di mata rakyat, dan ini tak diinginkan oleh Gerindra, PKS dan PAN. 

Tetapi apa daya di Parlemen mereka kalah suara, yang bisa mereka lakukan hanya berupaya menunda-nunda revisi itu, tetapi tidak untuk akhirnya DPR bisa merampung revisi Undang-Undang itu untuk kemudian disahkan dan diberlakukan.

Harapan

Setelah Presiden Jokowi menyampaikan "ultimatumnya" bahwa jika sampai Juni nanti RUU Anti-Terorisme yang baru itu belum juga berhasil dituntaskan, maka ia akan menerbitkan Perppu, tujuh sekretaris jenderal dan ketua fraksi partai politik anggota koalisi pemerintah buru-buru melakukan pertemuan bersama dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, pada Senin, 14 Mei 2018. 

Mereka berkomitmen bahwa pembahasan RUU Anti-Terorisme yang baru (revisi) itu akan rampung dalam bulan Juni, bahkan Mei ini juga. Dengan demikian Presiden Jokowi tidak perlu menerbitkan Perppu.

Tujuh partai itu adalah PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PAN. Yang masih diragukan adalah komitmen Fraksi PAN, karena seperti biasa bisa saja kelak Ketua Umumnya akan bicara lain, belum lagi dengan dengan Amien Rais, pembenci Jokowi nomor wahid yang akan mengintervensi, 

Seusai pertemuan itu, Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Sosatyo mengatakan, pembahasan Perubahan Undang-Undang Anti-Terorisme itu ditargetkan paling lambat selesai pada Juni mendatang. 

Sejumlah persoalan krusial dalam RUU itu, seperti tentang definisi terorisme dan pelibatan TNI, sudah disepakati di kalangan internal parpol anggota koalisi Pemerintah. Bambang bahkan berani sesumbar tidak sampai Juni, dalam Mei ini juga bisa tuntas.

Apakah benar begitu? Belum tentu juga karena demikian juga janji yang pernah dilontarkan oleh Ketua Pansus RUU Perubahan Undang-Undang Anti-Terorisme, Muhammad Syafi'i, pada Desember 2017 lalu. Katanya ketka itu,  dalam Desember 2017 itu juga revisi Undang-Undang itu sudah bisa disahkan karena semua perbedaan dan permasalahan sudah disepakati dan diselesaikan, kenyataannya? Sampai hari ini belum juga selesai, dan ketika didesak supaya cepat sleesai oleh Kapolri Tito dan Presiden Jokowi, ia malah mencak-mencak suruh Tito mundur dari Kapolri, dan Jokowi agar introspkesi diri karena yang bikin tertunda justru dari pihak Pemerintah.

Harapan kita semua, kali ini, semoga saja, apa yang dinyatakan Bambang Soesatyo bersama dengan komitmen bersama Pemerintah dengan 7 parpol koalisi pendukung Pemerintahan Presiden Jokowi tersebut menjadi kenyataan, revisi Undang-Undang Anti-Terorisme tuntas dibahas pada mei atau Juni 2018 ini juga, disahkan di rapat paripurna DPR, ditandatangani Presiden Jokowi, didaftarkan di Berita Negara, berlaku secara resmi di seluruh Indonesia. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun