Mohon tunggu...
Garinps
Garinps Mohon Tunggu... Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Pembelajar sejati yang haus akan ilmu di bidang Lingkungan, Kesehatan, IPTEK, Internet, dan Seni.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanggung Jawab Kepemimpinan: Pelajaran dari Jepang dan Korea

4 Maret 2025   17:31 Diperbarui: 4 Maret 2025   17:31 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin Jepang & Korea membungkuk, simbol kehormatan. Sumber: ArtifeX @garinps (NightCafe).

Di tengah lanskap global yang terus berubah, cara sebuah masyarakat memandang kepemimpinan sering kali mencerminkan nilai-nilai budayanya. Jepang dan Korea Selatan, dua kekuatan ekonomi dan budaya di Asia Timur, menawarkan perspektif unik tentang tanggung jawab kepemimpinan yang berakar pada kehormatan, integritas, dan hubungan sosial. Ketika seorang pemimpin di kedua negara ini tersandung kesalahan besar, pengunduran diri bukan sekadar opsi---ia menjadi pernyataan moral yang dianggap terhormat untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga martabat kolektif. Apa yang mendorong mentalitas ini, dan bagaimana ia berbeda dari pendekatan di belahan dunia lain?

Jepang: Harmoni dan Tanggung Jawab Kolektif

Di Jepang, konsep wa---harmoni sosial---merupakan pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks kepemimpinan, wa menempatkan pemimpin sebagai penjaga keseimbangan, baik di lingkungan organisasi maupun komunitas yang lebih luas. Jika harmoni ini terganggu akibat kesalahan atau skandal, pengunduran diri dipandang sebagai langkah logis untuk memulihkannya. Menurut studi Japan Institute for Labour Policy and Training pada 2019, lebih dari 60% eksekutif perusahaan Jepang yang terlibat pelanggaran etika memilih mengundurkan diri dalam waktu kurang dari enam bulan setelah skandal terungkap---angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara Barat.

Tanggung jawab kolektif juga menjadi inti dari mentalitas ini. Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas nama kelompok yang dipimpinnya. Contoh nyata terlihat pada 2021, ketika CEO Toshiba, Nobuaki Kurumatani, mengundurkan diri setelah menghadapi tekanan pemegang saham dan tuduhan mismanagement. Dalam budaya Jepang, tindakan ini bukan sekadar upaya menghindari rasa malu pribadi. Ia juga menunjukkan penghormatan terhadap karyawan, mitra bisnis, dan publik yang terdampak. Pengunduran diri, dalam hal ini, menjadi simbol integritas dan pengakuan bahwa kegagalan individu dapat mencoreng kehormatan kolektif.

Korea Selatan: Chemyon dan Kehormatan Pribadi

Di Korea Selatan, konsep chemyon---kehormatan atau "wajah"---memainkan peran sentral dalam dinamika sosial dan profesional. Chemyon lebih dari sekadar reputasi; ia adalah cerminan martabat seseorang dalam hubungan dengan orang lain. Ketika seorang pemimpin melakukan kesalahan besar, kehilangan chemyon bisa berakibat fatal bagi karier dan hubungan sosialnya. Data dari Korea Institute of Public Administration pada 2020 mencatat bahwa 73% pejabat publik yang terlibat skandal korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan mengundurkan diri dalam waktu satu tahun. Angka ini mencerminkan tekanan budaya untuk menjaga kehormatan.

Kasus paling terkenal adalah pengunduran diri Presiden Park Geun-hye pada 2017 setelah skandal korupsi yang melibatkan sahabatnya, Choi Soon-sil. Pengadilan Konstitusi akhirnya mengesahkan pemakzulannya, tetapi keputusan Park untuk mundur dari sorotan publik sebelumnya menunjukkan pengaruh kuat chemyon. Dalam budaya Korea, pengunduran diri setelah kegagalan besar bukan hanya tentang menghindari hukuman. Ia juga merupakan upaya memulihkan martabat pribadi dan organisasi yang tercoreng. Tanggung jawab moral ini sering diperkuat oleh tekanan publik yang menuntut transparansi dan keadilan.

Perbandingan dengan Dunia Barat

Akan tetapi, pendekatan di Jepang dan Korea ini berbeda dengan negara-negara Barat yang lebih individualistik, seperti Amerika Serikat atau Inggris. Di sana, fokus sering tertuju pada perbaikan sistem ketimbang pengorbanan pribadi. Laporan Harvard Business Review pada 2022 menunjukkan bahwa hanya 25% eksekutif di AS mengundurkan diri setelah skandal perusahaan. Mayoritas memilih bertahan sambil memperbaiki kerusakan melalui reformasi internal. Pendekatan ini mencerminkan prioritas pada solusi pragmatis dan peluang kedua, bukan penghormatan pada nilai-nilai kolektif atau kehormatan pribadi.

Kendati demikian, di Jepang dan Korea, pengunduran diri adalah bentuk pertanggungjawaban yang mengakar pada budaya disiplin dan pendidikan. Sistem pendidikan di kedua negara ini menekankan kerja keras dan tanggung jawab sosial. Hal ini membentuk individu yang memahami bahwa kesalahan seorang pemimpin berdampak jauh melampaui dirinya sendiri.

Mengapa Ini Penting?

Mentalitas ini menawarkan pelajaran berharga di era modern, ketika skandal kepemimpinan---baik di politik, bisnis, maupun teknologi---semakin sering terjadi. Jepang dan Korea menunjukkan bahwa pertanggungjawaban tidak hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang menjaga kepercayaan publik dan memastikan keadilan. Di dunia yang semakin terkoneksi, di mana reputasi bisa runtuh dalam hitungan jam di media sosial, pendekatan ini mengingatkan kita bahwa integritas tetap menjadi nilai yang tak ternilai.

Meski begitu, ada kritik terhadap sistem ini. Profesor Hiroshi Ono dari Hitotsubashi University berpendapat bahwa tekanan untuk mengundurkan diri dapat mendorong budaya "menghindari risiko" di kalangan pemimpin, yang pada akhirnya menghambat inovasi. Di sisi lain, pendukungnya menilai bahwa pendekatan ini memastikan hanya individu berintegritas tinggi yang bertahan di posisi kekuasaan.

Kesimpulan

Kepemimpinan di Jepang dan Korea Selatan adalah perpaduan unik antara hasil dan moralitas. Pengunduran diri sebagai bentuk pertanggungjawaban bukan tanda kelemahan, melainkan simbol kekuatan---pengakuan bahwa kehormatan, baik pribadi maupun kolektif, lebih berharga daripada jabatan. Di tengah dunia yang terus bergulat dengan krisis kepemimpinan, pendekatan ini mengundang refleksi tentang apa yang dapat dipelajari dari nilai-nilai Timur dalam konteks kepemimpinan global. Kepemimpinan sejati, tampaknya, diukur bukan hanya dari keberhasilan, tetapi juga dari keberanian menghadapi kegagalan.

Sumber:

  1. Japan Institute for Labour Policy and Training (JILPT). (2019). Corporate Governance and Leadership Accountability in Japan.
  2. Korea Institute of Public Administration (KIPA). (2020). Public Sector Integrity Report.
  3. Harvard Business Review. (2022). Leadership Failures and Corporate Resilience in the West.
  4. Ono, Hiroshi. (2021). Risk Aversion and Japanese Leadership Culture. Hitotsubashi University Press.
  5. Arsip Berita Yonhap. (2017). Park Geun-hye Impeachment Timeline.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun