Fenomena yang terjadi di masyarakat seringkali menunjukkan bahwa kita masih terjebak dalam pola pikir ketakutan yang berlebihan. Ketika ulat bulu merebak di berbagai daerah beberapa tahun lalu, sebagian orang langsung panik seakan dunia akan runtuh. Media massa ramai memberitakan wabah ulat bulu, masyarakat resah, bahkan pemerintah sempat mengeluarkan pernyataan tergesa-gesa. Padahal, ulat bulu itu kelak akan menjadi kupu-kupu indah yang justru bermanfaat bagi ekosistem. Masalahnya bukan sekadar ulat, melainkan bagaimana rasa takut yang tidak rasional bisa melumpuhkan logika kita sebagai bangsa.
Artikel tentang ulat bulu itu membuka pandangan baru, yaitu ketakutan massal ternyata bisa menjadi cermin kondisi sosial dan politik. Fobia yang berlebihan tidak hanya muncul terhadap hewan kecil, tetapi juga terhadap isu-isu politik. Banyak pemimpin bangsa lebih sibuk menghindari persoalan ketimbang menyelesaikannya. Ketakutan yang tidak beralasan ini membuat kita sering melewatkan peluang untuk belajar dan memperbaiki diri. Seperti ulat bulu yang ditakuti padahal menyimpan keindahan, begitu pula masalah bangsa yang seharusnya dihadapi dengan kepala dingin, bukan dengan panik.
Kenyataan serupa terlihat jelas dalam kasus pagar laut ilegal yang sempat ramai dibicarakan. Sebuah editorial menyebut bagaimana pemerintah begitu lamban mengambil keputusan, hingga akhirnya persoalan sederhana menjadi rumit dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. Permasalahan ini sebenarnya bisa segera ditangani dengan langkah tegas, tetapi keragu-raguan justru memperburuk keadaan. Editorial tersebut bahkan menegaskan, tanpa campur tangan serius Presiden, masalah itu akan terus berlarut-larut. Lagi-lagi, ketakutan untuk bertindak cepat membuat pemerintah kehilangan kepercayaan publik.
Jika ditarik lebih jauh, persoalan ini menunjukkan betapa pentingnya kehadiran negara dalam menyelesaikan masalah. Laut adalah ruang hidup masyarakat pesisir, sumber ekonomi nelayan, sekaligus wilayah kedaulatan bangsa. Membiarkan pagar laut ilegal berdiri sama saja dengan membiarkan keadilan sosial diinjak-injak. Sayangnya, bukannya hadir dengan solusi, pemerintah justru terlihat ragu dan takut mengambil langkah. Akibatnya, rakyat kembali menanggung akibat dari kelalaian elite.
Lebih menyedihkan lagi, persoalan bangsa kita saat ini bukan hanya soal ketakutan atau kelambanan birokrasi. Yang paling serius adalah hilangnya keteladanan. Artikel tentang etika dan sumpah DPR menyinggung betapa sulitnya mencari tokoh bangsa yang benar-benar bisa dijadikan panutan. Dulu, gerakan reformasi 1998 lahir dari semangat rakyat untuk membangun politik yang lebih bermartabat. Tokoh-tokoh saat itu berani mengambil risiko demi memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Namun kini, cita-cita itu seperti kabur ditelan kepentingan elite.
Bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada krisis yang tak kunjung selesai: ketidakadilan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, dan rapuhnya moralitas para pemimpin. Tanpa sosok teladan, masyarakat kehilangan arah. Sejarah sudah membuktikan bahwa sebuah bangsa hanya bisa maju jika dipimpin oleh tokoh yang berani berdiri di depan, bukan yang bersembunyi di balik ketakutan.
Dari ketiga persoalan tadi, terlihat benang merah yang sama, yaitu bangsa ini terlalu lama hidup dalam ketakutan. Ketakutan pada ulat bulu yang tidak berbahaya, ketakutan pemerintah untuk bertindak tegas dalam kasus pagar laut ilegal, hingga ketakutan para pemimpin untuk tampil sebagai teladan sejati. Jika terus begini, kita akan terjebak dalam krisis berkepanjangan.
Sudah saatnya kita berhenti membiarkan rasa takut mengendalikan arah bangsa. Ulat bulu mengajarkan bahwa sesuatu yang menakutkan bisa berubah menjadi indah bila diberi kesempatan. Kasus pagar laut ilegal menunjukkan bahwa masalah hanya akan selesai bila dihadapi dengan keberanian. Dan sejarah mengingatkan, tanpa teladan dari para pemimpin, reformasi hanya akan tinggal kenangan.
Karena itu, bangsa ini membutuhkan keberanian baru, yaitu berani menghadapi masalah, berani berubah, dan berani memimpin dengan hati. Rakyat menunggu hadirnya pemimpin yang tidak lagi sibuk dengan ketakutan, tetapi mampu berdiri tegak untuk memberikan harapan. Bila saat ini kita terus memilih diam, maka jangan salahkan siapa pun jika masa depan bangsa ini ditelan krisis yang tidak berujung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI