Ketika Shin Tae-yong (STY) diberhentikan dari kursi pelatih Tim Nasional Indonesia tanpa alasan yang jelas, publik sepak bola tanah air sontak terbelah antara kecewa dan heran. Bagaimana mungkin pelatih yang telah mengubah wajah sepak bola Indonesia secara signifikan, mendongkrak peringkat FIFA, serta menampilkan permainan modern dan indah, justru harus pergi di tengah apresiasi publik yang begitu tinggi?
Keputusan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, kala itu dianggap sebagai langkah yang sulit dipahami. Apalagi ketika pengganti yang dipilih, Patrick Kluivert, gagal total membawa Timnas ke putaran Piala Dunia. Kini, setelah serangkaian hasil buruk, suara publik kembali menggema: "Kembalikan Shin Tae-yong!"
Namun di balik riuh tuntutan publik itu, ada satu pertanyaan moral yang lebih mendalam: Apakah seorang pemimpin seperti Erick Thohir bersedia menelan gengsi dan memanggil kembali orang yang pernah ia singkirkan?
1. Dari Prestasi ke Kontroversi
Tak dapat disangkal, di bawah asuhan Shin Tae-yong, Timnas Indonesia mengalami kemajuan nyata. Pola permainan berubah drastis---lebih disiplin, taktik lebih rapi, dan semangat juang pemain muda Indonesia terlihat luar biasa. Dari tim yang dahulu kerap jadi bulan-bulanan di kancah Asia Tenggara, Indonesia menjelma menjadi lawan tangguh, bahkan mampu menahan imbang atau mengalahkan tim-tim kuat Asia.
Prestasi itu bukan hanya soal skor, tetapi juga soal martabat bangsa. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rakyat Indonesia menonton sepak bola bukan dengan rasa frustrasi, melainkan dengan kebanggaan. Peringkat FIFA yang melonjak adalah bukti konkret dari transformasi itu.
Karenanya, ketika STY tiba-tiba diberhentikan tanpa alasan yang jelas, publik wajar merasa kecewa. Mereka melihat ada sesuatu yang janggal, seolah keputusan itu lebih didorong oleh faktor nonteknis---politik, ego, atau bahkan tekanan kelompok tertentu di internal federasi.
2. Kepemimpinan dan Ujian Moral
Dalam dunia olahraga, keputusan pergantian pelatih memang hal biasa. Namun dalam konteks moral kepemimpinan, yang menjadi persoalan bukan apa yang dilakukan, tetapi mengapa dan bagaimana keputusan itu diambil.
Erick Thohir dikenal sebagai sosok profesional yang tegas dan berpengalaman di dunia bisnis dan olahraga internasional. Namun, pemecatan STY tanpa argumentasi yang transparan justru menimbulkan kesan sebaliknya: tergesa-gesa dan tidak proporsional. Padahal, dalam etika kepemimpinan modern, keputusan besar yang berdampak luas harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan rasional.
Kini, ketika hasil pengganti STY justru jauh dari harapan, ujian moral itu datang kembali. Apakah seorang pemimpin memiliki keberanian untuk mengakui bahwa ia pernah keliru? Apakah ia sanggup menempatkan kepentingan bangsa di atas gengsi pribadi?