Setiap orang pasti tahu yang namanya Sushi.
Sushi adalah makanan yang khas dari Jepang dengan dua bahan utama yaitu nasi yang dicampur cuka dan makanan laut (ini biasa disebut dengan neta, yaitu berupa ikan, kerang, udang, dll) yang diletakkan diatasnya. Biasanya antara nasi dan neta-nya, ada yang disisipi dengan wasabi, semacam lobak yang diparut dan rasanya pedas.Â
Nasi yang berasal dari padi, mulai masuk ke Jepang sekitar 3000 tahun yang lalu. Bertanam padi bagi orang Jepang adalah sama dengan berinteraksi dengan alam, di mana sawah menjadi pusatnya dan di sekitarnya ada burung, hewan piaraan dan lainnya yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Terkadang manusia juga harus berinteraksi dengan "penguasa alam semesta" agar diberikan panen yang berlimpah dan bagus. Dari berbagai macam interaksi inilah maka lahir budaya serta tradisi, dimana oleh orang Jepang dipelihara terus secara turun temurun.
Dulu saya sering heran kenapa orang Jepang kalau makan nasi selalu tandas, licin tidak ada sebutir nasi-pun yang tertinggal. Bahkan kalau ada nasi yang nempel di sisi piring, mereka akan makan. Sekarang, saya paham bahwa mereka begitu karena amat sangat menghargai anugerah nasi itu.Â
Kita kembali ke topik lagi. Jika dilihat dari asal muasal katanya, sushi berasal dari kata "su-me-shi ", di mana "su" adalah cuka yang rasanya asam dan "meshi " yang artinya nasi. Lama kelamaan kata "me" hilang, sehingga tersisa menjadi kata "sushi" saja, seperti yang kita kenal sampai sekarang. Sushi juga sudah menjadi kosa kata di dalam bahasa Inggris, sehingga kata "sushi" bisa kita temukan, misalnya di Kamus Oxford.Â
Saat ini, makanan yang bernama sushi hampir dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia. Bahkan ada beberapa jenis dari sushi ini kemudian bertransformasi, sehingga terkadang bentuk dan neta-nya tidak dapat ditemukan di negara asalnya Jepang, karena sudah menyesuaikan dengan kebutuhan dan kegemaran masyarakat/penduduk di daerah/negara yang bersangkutan.
Tahukah pembaca bahwa sebenarnya sushi itu berasal dari luar Jepang ?
Walaupun belum bernama sushi, kalau dirunut silsilahnya makanan dengan bahan utama nasi yang mempunyai rasa masam dan makanan laut sebenarnya sudah ada semenjak dahulu diluar Jepang.Â
Masyarakat di daerah pegunungan di kawasan Asia Tenggara di daerah Thai dan sekitarnya, mempunyai cara mengawetkan makanan yang bisa jadi merupakan cikal bakal sushi. Mereka mengawetkan makanan, terutama makanan laut (ikan), karena tempat tinggalnya di pegunungan tidak memungkinkan untuk terlalu sering menempuh jarak jauh (atau turun gunung) hanya untuk mencari ikan.
Cara mereka mengawetkan adalah, makanan yang akan diawetkan itu biasanya ditaruh berselingan dengan beras, lalu di bagian paling atasnya ditaruh batu pemberat. Dengan berjalannya waktu, asam yang berasal dari beras yang kemudian berfermentasi, kemudian keluar dan meresap ke dalam makanan. Akibatnya, makanan yang diawetkan itu terasa asam.
Kemudian di Tiongkok, nama sushi sudah mulai muncul di dalam literatur pada abad ke 5 s/d 3 sebelum Masehi. Makanan yang diawetkan juga bukan hanya ikan, namun juga unggas seperti burung, maupun hewan seperti babi. Di Jepang sendiri, nama sushi baru ditemukan di dalam literatur pada tahun 718 Masehi. Berbeda dengan cara makan yang populer sekarang, dahulu sushi yang sudah melalui proses pengawetan dimakan tanpa nasinya.
Perbedaan cara pengawetan ini pula yang kemudian menjadi penyebab munculnya berbagai jenis sushi yang populer di masing-masing daerah. Pada akhirnya di jaman Edo, untuk lebih memperpendek prosesnya, maka cuka dapur mulai dipakai untuk pengawetannya. Â Karena dengan cara ini, pengawetannya hanya memerlukan waktu beberapa hari saja.
Sushi yang kita kenal sekarang pada awalnya dikenalkan di masa Edo dengan nama Edomae Nigirizushi. Edomae bisa berarti di depan Edo, yaitu laut. Edo (Tokyo), lautnya kaya akan mineral yang terdapat dalam sedimen yang dibawa dari sungai-sungai di hulunya. Dengan banyaknya kandungan mineral ini, serta kandungan dari unsur2 lain yang digemari ikan, maka berbagai jenis ikan banyak berkumpul di laut sekitar Edo. 
Nigiri adalah cara membuat sushi dengan memadatkan nasi menggunakan tangan. Masyarakat yang tinggal di daerah Edo, ingin agar ikan-ikan tersebut dapat langsung disantap dengan proses yang kalau bisa tanpa menunggu lama. Ikan-ikan tersebut kemudian diolah dengan cepat, lalu digunakan  sebagai neta dan ditaruh diatas nigiri yang sudah dibuat. Jadilah yang namanya Edomae Nigirizushi.
Cara penyajian cepat Edomae nigirizushi ini kemudian digemari masyarakat pada jaman itu. Kalau jaman sekarang, Edomae nigirizushi  ini bisa dikatakan setara dengan fast food seperti Kentucky atau McD.  Umumnya sushi pada jaman ini disajikan di warung tanpa tempat duduk yang biasa disebut tachigui  (makan sambil berdiri).
Cara tachigui akan memudahkan bagi orang yang sekedar ingin menghilangkan rasa lapar, karena dia bisa masuk ke rumah makan tersebut, lalu memesan dan kemudian memakan dengan cepat. Dari segi bisnis, pemilik rumah makan tachigui juga diuntungkan, karena putaran pengunjung warung bisa berganti dengan cepat.
Jenis sushi ada bermacam-macam. Jika dilihat dari cara membuat/menyajikannya, maka kita bisa menemui ada temakizushi, yaitu sushi yang dibalut dengan rumput laut. Ada pula chirashizushi, yaitu sushi yang nasinya tidak dikepal, dan neta-nya  hanya dihamburkan diatas nasi yang sudah diberi asam. Selain itu ada pula inarizushi, oshizushi, temarizushi, narezushi, gomokuzushi,  dan lainnya yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu karena bisa jadi buku nanti :)Â
Menurut daerah asal sushinya, kita bisa menemui datemakizushi dari daerah chousi di chiba, shimazushi dari pulau ogasawara, funazushi dari prefektur Shiga dan lainnya.
Dari cara penyajiannya, kita bisa menemukan dua cara, yaitu sushi yang disajikan dengan conveyor-belt berputar (biasa disebut kaitenzushi) maupun sushi yang disajikan tanpa conveyor-belt. Sushi yang disajikan tanpa conveyor-beltberputar ini biasanya disajikan langsung di depan pembeli yang duduk disekitar counter tempat orang yang membuatnya (itamae).
Harga dari sushi yang dijual juga relatif. Bisa tergantung popularitas dari restoran atau itamae (chef utama)-nya, bisa juga dari lokasi restoran, dan faktor-faktor lain. Untuk referensi, di restoran sushi yang bukan kaitenzushi ,minimal kita harus menyediakan anggaran sekitar 5000 yen untuk sekali makan per orang.
Ragam cara penyajian kaitenzushi
Cara penyajian sushi di restoran kaitenzushi memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan yang paling utama adalah, menjadikan sushi makin mudah untuk dinikmati oleh masyarakat. Karena selain harganya yang murah, namun ada unsur entertainment nya juga dengan melihat sushi yang disajikan berputar. Rasanya seperti melihat "mainan" yang lucu dan muter-muter begitu. Â
Saat ini, cara penyajian pada beberapa restoran kaitenzushi  juga ada yang  sudah dimodifikasi, sehingga kandungan unsur entertainment nya lebih tinggi. Yaitu, mereka meletakkan sushi bukan diatas piring kecil di conveyor-belt,  namun sushi diletakkan diatas tempat yang berbentuk kereta (maupun  bentuk lain) yang sudah dikomputerisasi, sehingga sushi bisa langsung otomatis datang  ke meja pemesan.Â
Untuk melakukan pemesanan juga cukup mengakses menu dalam bentuk gawai, dengan menyentuh sushi yang kita inginkan di layar. Cara ini tentunya menarik minat anak-anak, karena bentuk kereta yang mengantar pemesanan juga sangat unik. Biasanya minimal anggaran yang harus disediakan untuk kaitenzushi ini relatif murah. Untuk sekali makan, cukup sedia 1500 s/d 2000 yen saja per orang. Â Sudah lumayan kenyang lho dengan uang segitu.
Tentunya kalau sudah kesini, berkunjung ke restoran sushi mungkin lebih baik. Sekalian bisa foto2 untuk upload di sosmed. Â Tapi kalau tak sempat karena sibuk seharian dan tidak ada waktu, maka sushi jenis ini bisa menjadi pilihan. Kalau pas ketemu yang enak (dan masih segar), rasanya juga nggak beda jauh kok. Lagipula, dengan begini maka bisa makan sushi sambil nonton acara tivi ataupun sambil istirahat di hotel.
- Sebenarnya ada jenis sushi yang masuk ke Jepang dari luar seperti California Roll. Di Jepang sendiri sekarang juga banyak sushi dengan racikan moderen, seperti misalnya menggunakan mayonnaise, menaruh daging bakar atau ayam goreng sebagai ganti dari ikan, dll
- Teh Hijau panas (ocha) yang biasanya disajikan di restoran sushi sebenarnya bukan diminum supaya kita tidak tersedak waktu makan sushi. Ocha panas dan Jahe  (gari) sebenarnya diminum dan atau dimakan untuk menghilangkan lemak atau rasa sushi yang sudah kita makan. Jadi ini bisa dikatakan untuk persiapan supaya kita bisa menikmati rasa sushi yang ingin kita makan berikutnya
- Kalau bisa, jangan memakan neta (ikan atau apapun yang ditaruh diatas nasi) dan nasi terpisah. Keduanya harus dimakan bersamaan
- Kalau ingin memakai kecap asin, bisa menggunakan gari yang diolesi kecap lalu gari ini dioleskan di neta. Ini lebih mudah dibandingkan jika kita memegang sushi dengan sumpit dan membaliknya hanya untuk mengulaskan kecap asin
- Harga sushi kebanyakan bisa ditandai/dikenali dengan corak piring kecil/wadahnya
- Menurut cerita, biasanya sushi yang dijual di hari Senin kurang begitu segar, sebab nelayan tidak melaut di hari Minggu (dan Pasar Ikan tidak buka di hari Minggu). Tapi ini mungkin tidak berlaku di semua restoran, karena rata2 restoran menggunakan neta beku yang sudah disimpan di freezer
Mudah2 an dengan sedikit info ini, bagi pembaca yang gemar sushi, diharapkan bisa lebih lahap lagi menyantap sushi nanti. Dan bagi pembaca yang belum pernah makan sushi, mudah2-an dengan tulisan ini bisa jadi kepengen banget makan sushi. Omong2, saya nggak punya tetangga atau teman atau saudara atau gebetan yang punya restoran sushi lho ya :P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H