Mohon tunggu...
Danang Hamid
Danang Hamid Mohon Tunggu... Apa yang kamu rasakan tetap penting, bahkan jika dunia sibuk sendiri.

Manusia yang pernah menahan banyak hal diam-diam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fajar Adalah Awal yang Suci, Bisakah Kita Jaga dengan Damai?

11 Juli 2025   08:02 Diperbarui: 11 Juli 2025   08:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Generated By Sora

"Assalamualaikum, hadirin sadayana.Ibu-ibu, segera ikhlaskan suami dan anak-anaknya di rumah untuk melangkah berjamaah Shubuh, sekarang sudah jam empat lima belas menit. Relakanlah suamimu, doronglah anak lelakimu. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Untuk yang tadi malam ada kerja malam, segeralah mandi junub karena kebersihan sebagian dari pada iman, ngingetkeun we ieu mah, boh bilih ada yang hilap".

Begitulah, narasi setiap gelap pagi dari sebuah pengeras suara di tajug kecil warisan keluarga, suara yang lantang menggema dengan diksi tiap hari yang selalu sama,intonasi, tune yang sangat mudah dikenali sebagai template-nya.

***

Fajar adalah anugerah, sebuah momen sakral yang seharusnya menghadirkan kedamaian, bukan gangguan. Pagi hari yang masih gelap adalah waktu di mana jiwa semestinya merekah, menyesap ketenangan sebelum dunia menggeliat dengan kesibukannya.

Bagi banyak orang, fajar bukan sekadar pergantian waktu, melainkan ruang sunyi yang disiapkan untuk doa, renungan, atau sekadar menyambut hari dengan pelan.

Namun, di sejumlah tempat, ketenangan ini terusik oleh suara pengeras yang begitu lantang, menyampaikan syiar agama dengan intensitas yang tak semua orang siap menerimanya. Niat baik untuk mengajak pada kebaikan tentu patut dihargai, namun ketika cara penyampaian kehilangan empati terlalu keras, terlalu menghakimi, dan menyentuh ranah yang sangat pribadi dampaknya justru berbalik menjauhkan, bukan mendekatkan.

Misalnya, pesan tentang mandi junub yang disampaikan terbuka melalui toa, meski diniatkan sebagai pengingat, bisa menjadi bentuk invasi terhadap privasi orang lain.

Kampung yang damai di pagi hari (Dokpri)
Kampung yang damai di pagi hari (Dokpri)
Bahkan, bagi ibu yang bayinya terbangun karena suara tersebut, atau pekerja lembur dan terbiasa WFH pada malam hari hingga pagi yang kehilangan fokus karena terganggu secara sensorik dan emosional, membuat waktu fajar tak lagi terasa damai, melainkan seperti benturan batin yang berulang setiap hari.

Kita perlu bertanya, apakah dakwah yang menimbulkan rasa malu, terganggu, bahkan kesal, sejalan dengan akhlak Rasulullah? Bukankah beliau mengedepankan kelembutan dan keteladanan, bukan tekanan?

Realita ini memunculkan sebuah ironi, niat baik yang dijalankan tanpa kebijaksanaan justru berpotensi menciptakan antipati, bukan pada agama itu sendiri, tapi pada cara penyampaiannya. Orang tak lari dari ajaran, tetapi dari pendekatan yang mereka rasakan kurang elegan jika tak bisa dikatakan kasar, mengatur, atau melanggar ruang batin. Dalam jangka panjang, ini bisa mengikis rasa kedekatan pada masyarakat, bahkan terhadap rumah ibadah itu sendiri.

Lebih dari sekadar bising, yang terjadi adalah invasi sensorik di saat paling rapuh, pagi hari, ketika tubuh dan pikiran masih dalam transisi dari istirahat menuju aktivitas. Paparan suara keras, terlebih jika disertai pesan yang menekan secara emosional, dapat memicu stres, meningkatkan hormon kortisol, mengganggu tidur, memicu kecemasan, hingga menurunkan produktivitas. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ini menjadi kebiasaan yang dianggap wajar, ternormalisasikan.

Toksisitas dalam pesan juga menjadi isu tersendiri. Ketika seseorang merasa dihakimi di ruang publik, bahkan sebelum sempat berbenah diri, maka dakwah kehilangan ruhnya sebagai panggilan cinta. Yang tumbuh justru rasa bersalah, rasa tidak aman, tidak nyaman dan keengganan untuk mendekat. Rumah ibadah yang seharusnya menjadi pelukan hangat, malah terasa seperti ruang penghakiman.

Suasana damai di kampung ilustrasi by AI
Suasana damai di kampung ilustrasi by AI
Kita tak sedang mempertanyakan pentingnya syiar, tetapi menyerukan pentingnya kebijaksanaan. Sudah saatnya kita meninjau ulang cara kita menyampaikan pesan agama dengan menggunakan pengeras suara secara arif bijaksana dengan volume yang wajar, waktu yang tepat, dan isi pesan yang lembut, mengajak, bukan memaksa, bukan menghakimi, bukan menyindir, bukan pula menyerang pribadi yang dianggap berseberangan. Bukanlah volume suara yang akan menyentuh hati, melainkan kearifan dalam tutur dan kehalusan dalam ajakan.Fajar seharusnya menyambut kita dengan kelembutan, bukan membuat jiwa mengerut karena kaget atau tertekan. Mari kita ciptakan suasana pagi yang benar-benar damai, di mana agama hadir sebagai pelipur, bukan pemicu resah. Karena dalam setiap dakwah, akhlak selalu lebih utama daripada suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun