"Assalamualaikum, hadirin sadayana.Ibu-ibu, segera ikhlaskan suami dan anak-anaknya di rumah untuk melangkah berjamaah Shubuh, sekarang sudah jam empat lima belas menit. Relakanlah suamimu, doronglah anak lelakimu. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Untuk yang tadi malam ada kerja malam, segeralah mandi junub karena kebersihan sebagian dari pada iman, ngingetkeun we ieu mah, boh bilih ada yang hilap".
Begitulah, narasi setiap gelap pagi dari sebuah pengeras suara di tajug kecil warisan keluarga, suara yang lantang menggema dengan diksi tiap hari yang selalu sama,intonasi, tune yang sangat mudah dikenali sebagai template-nya.
***
Fajar adalah anugerah, sebuah momen sakral yang seharusnya menghadirkan kedamaian, bukan gangguan. Pagi hari yang masih gelap adalah waktu di mana jiwa semestinya merekah, menyesap ketenangan sebelum dunia menggeliat dengan kesibukannya.
Bagi banyak orang, fajar bukan sekadar pergantian waktu, melainkan ruang sunyi yang disiapkan untuk doa, renungan, atau sekadar menyambut hari dengan pelan.
Namun, di sejumlah tempat, ketenangan ini terusik oleh suara pengeras yang begitu lantang, menyampaikan syiar agama dengan intensitas yang tak semua orang siap menerimanya. Niat baik untuk mengajak pada kebaikan tentu patut dihargai, namun ketika cara penyampaian kehilangan empati terlalu keras, terlalu menghakimi, dan menyentuh ranah yang sangat pribadi dampaknya justru berbalik menjauhkan, bukan mendekatkan.
Misalnya, pesan tentang mandi junub yang disampaikan terbuka melalui toa, meski diniatkan sebagai pengingat, bisa menjadi bentuk invasi terhadap privasi orang lain.
Kita perlu bertanya, apakah dakwah yang menimbulkan rasa malu, terganggu, bahkan kesal, sejalan dengan akhlak Rasulullah? Bukankah beliau mengedepankan kelembutan dan keteladanan, bukan tekanan?
Realita ini memunculkan sebuah ironi, niat baik yang dijalankan tanpa kebijaksanaan justru berpotensi menciptakan antipati, bukan pada agama itu sendiri, tapi pada cara penyampaiannya. Orang tak lari dari ajaran, tetapi dari pendekatan yang mereka rasakan kurang elegan jika tak bisa dikatakan kasar, mengatur, atau melanggar ruang batin. Dalam jangka panjang, ini bisa mengikis rasa kedekatan pada masyarakat, bahkan terhadap rumah ibadah itu sendiri.
Lebih dari sekadar bising, yang terjadi adalah invasi sensorik di saat paling rapuh, pagi hari, ketika tubuh dan pikiran masih dalam transisi dari istirahat menuju aktivitas. Paparan suara keras, terlebih jika disertai pesan yang menekan secara emosional, dapat memicu stres, meningkatkan hormon kortisol, mengganggu tidur, memicu kecemasan, hingga menurunkan produktivitas. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ini menjadi kebiasaan yang dianggap wajar, ternormalisasikan.
Toksisitas dalam pesan juga menjadi isu tersendiri. Ketika seseorang merasa dihakimi di ruang publik, bahkan sebelum sempat berbenah diri, maka dakwah kehilangan ruhnya sebagai panggilan cinta. Yang tumbuh justru rasa bersalah, rasa tidak aman, tidak nyaman dan keengganan untuk mendekat. Rumah ibadah yang seharusnya menjadi pelukan hangat, malah terasa seperti ruang penghakiman.