Baru-baru ini, pernyataan Akio Toyoda yang menentang pandangan umum, sebuah narasi dominan bahwa mobil listrik (EV) adalah satu-satunya jalan menuju masa depan otomotif yang ramah lingkungan, dan hal ini cukup menarik untuk ditafakuri, ditelisik dan mengusik asyik pandangannya yang tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab seperti Anda tahu ia adalah orang yang memimpin raksasa otomotif global yang tentu saja memiliki data dan pengalaman puluhan tahun di bidangnya.
Sementara itu, permintaan global aterai EV yang meroket menciptakan demam nikel. Dan demi memenuhi permintaan ini, ada tekanan besar untuk membuka lahan tambang baru, bahkan bila itu berarti mengancam kawasan yang sensitif secara ekologis seperti lingkar luar Raja Ampat.
Sebuah argumen yang mengatakan "Atas nama energi bersih, kita sedang merusak lingkungan yang lain." barangkali ini adalah paradoks transisi hijau yang sedang dihadapi Indonesia. Jika di sini kita sedang membangun rumah di sinu, di tempat lain kita sedang menghancurkan bukit demi batu-batu pondasi bangunan atau pasir beton.
Akio Toyoda, pimpinan Toyota, mengguncang dunia dengan pernyataan bahwa mobil listrik  bisa lebih mencemari lingkungan daripada mobil hybrid, banyak yang menganggapnya sebagai pembelaan usang dari raksasa otomotif yang terlambat berinovasi.
"Ketika istilah carbon neutrality mulai ramai diperbincangkan, kami di Toyota langsung menetapkan bahwa musuh utama adalah karbon, bukan teknologi itu sendiri. Kami fokus pada apa yang bisa segera kami lakukan untuk mengurangi CO. Prinsip ini tidak akan berubah," tegas Toyoda, seperti dikutip Mashable Indonesia, pada wawancara eksklusif bersama Automotive News.
Dikatakan Mashable Toyoda menyampaikan pandangan tajamnya terhadap tren elektrifikasi penuh. Ia menegaskan bahwa Toyota tetap konsisten dengan strategi multi-energi, memadukan berbagai teknologi untuk mengurangi emisi karbon, bukan bergantung hanya pada satu solusi.
Tapi, pernyataan kontroversial Toyoda yang memicu perdebatan global itu ternyata memiliki gema yang lebih kelam dan nyata, kan? Terutama di Indonesia. Di sini, perlombaan dunia menuju energi bersih, meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan sosial yang tak terhindarkan.
Perdebatan yang dilontarkan Toyoda berpusat pada konsep emisi siklus hidup (lifecycle emissions). Ia berargumen bahwa nol emisi dari knalpot EV menjadi sia-sia jika proses produksi baterainya padat karbon dan listrik untuk pengisian dayanya berasal dari pembangkit fosil.
Dalam konteks ini, menjual tiga mobil hybrid dengan baterai kecil yang langsung mengurangi konsumsi BBM, bisa jadi lebih baik bagi iklim daripada menjual satu EV dengan utang karbon besar dari produksinya.