Unesco mengatakan ada lima tantangan yang harus ditaklukan oleh warga dunia di masa sekarang. Â Lima tantangan tersebut tertulis dalam sebuah laporan Global Education Meeting, pada 31 Oktober-1 November 2024 yang digelar di Fortaleza, Brazil, yakni iklim dan lingkungan; perdamaian dan hak asasi manusia; sains, teknologi, inovasi, dan transformasi digital; kesetaraan gender; kesehatan dan gizi. Kelima hal ini yang akan mempengaruhi sistem pendidikan di berbagai konteks.Â
Sementara pendidikan itu sendiri berkontribusi secara signifikan terhadap solusi yang dapat mempercepat kemajuan dalam menyelesaikan tantangan. Tantangan tersebut masih ada, jika tidak memburuk.
Unesco mengungkap bahwa tahun 2024 dunia tidaklah sama dengan era-era sebelumnya. Dan kini, tahun kita berada di pertengahan tahun 2025, waktu kurang dari lima tahun menuju tenggat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tahun 2030, dunia berada di titik kritis.Â
Krisis iklim, kesenjangan sosial, dan kemiskinan yang tentu masih menjadi tantangan besar. Dan di tengah kondisi global yang penuh gejolak, setiap negara tidak bisa menunda lagi, terutama ketika menyangkut masa depan anak-anak muda dan generasi berikutnya.
Kenapa Anak Muda Harus Jadi Fokus? Data PBB menunjukkan bahwa antara tahun 2021--2030, jumlah pemuda di dunia akan bertambah lebih dari 78 juta jiwa, dengan hampir setengahnya berasal dari negara-negara berpenghasilan rendah.Â
Di satu sisi, generasi muda makin berani bersuara soal perubahan dan sustainability. Namun ironisnya, mereka justru makin terpinggirkan dari sistem pendidikan dan pekerjaan yang ada saat ini. Dan praktisi pendidikan mulai berpikir bagaimana caranya mengembalikan keterlibatan mereka dalam masyarakat, perlunya menata ulang sistem pendidikan dan jalur karir agar lebih sesuai dengan kebutuhan dunia kerja yang terus berubah dan akan terus berubah.
Saat ini, di berbagai belahan dunia, diketahui makin banyak pemuda yang tak masuk dalam kategori kerja, sekolah, atau pelatihan. Bahkan, menurut catatan Unesco tahun 2023 lalu tercatat ada sekitar 20% pemuda global berada dalam kondisi tersebut, bukankah ini merupakan angka yang cukup mengkhawatirkan?
Kesenjangan keterampilan pun makin terasa, terutama di negara-negara berkembang. Â Betapa mirisnya kita melihat kenyataan tentang berapa banyak kesempatan kerja yang bisa menyerap angkatan kerja setiap tahunnya? Job fair selalu dibanjiri peminat yang jumlahnya sangat luar biasa, apakah karena kurangnya skill atau kesempatan? Atau ketidaksinkronan antara educational background dan kebutuhan skill?Â
Misalnya, banyak generasi muda yang ingin mempelajari Green Skills untuk menghadapi perubahan iklim, dan mereka juga tahu bahwa peluang pekerjaan yang membutuhkan Green skills juga signifikan. Pada tahun 2022, Bappenas memproyeksikan kebutuhan tambahan tenaga kerja Green Jobs adalah antara 1,8 sampai 4,4 juta hingga 2030, dengan skenario kebutuhan Green Talents per tahun sekitar 250-650 ribu (Prakerja.go.id).Â
Tapi, ternyata kurikulum selama masa pendidikan mereka tak mendukung kebutuhan pasar kerja, ditambah kemungkinan akses terhadap internet dan teknologi yang terbatas juga membuat mahasiswa di negara berpenghasilan menengah ke bawah (LMIC) kesulitan menguasai keterampilan digital yang sangat dibutuhkan saat ini.
Bahkan, katanya di negara maju seperti Amerika Serikat saja, ternyata mayoritas lulusan universitas merasa masih belum siap menghadapi era AI (kecerdasan buatan), padahal dua dari tiga pemberi kerja menganggap bahawa keterampilan tersebut di era sekarang wajib dimiliki.Â