Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah punya potensi besar: bukan hanya menekan angka stunting, tapi juga menggerakkan ekonomi rakyat di desa-desa. Namun, agar benar-benar berdampak, program ini harus berbasis pemberdayaan lokal, bukan sekadar bantuan makan harian.
MBG Bukan Hanya Soal Gizi, Tapi Juga Ekonomi
Tujuan utama MBG memang menekan stunting. Tapi masalah gizi tidak selesai hanya dengan memberi makan sekali sehari. Stunting berakar dari gizi ibu hamil dan 1.000 hari pertama kehidupan anak.
Justru kekuatan MBG ada di dampak ekonominya. Bayangkan jika setiap hari jutaan porsi makanan disiapkan di dapur-dapur lokal. Berapa banyak uang akan berputar di tangan petani, peternak, dan pedagang pasar tradisional?
Sayangnya, potensi ini belum terasa maksimal. Banyak bahan baku masih disuplai oleh perusahaan besar, bukan dari pasar lokal. Akibatnya, ekonomi desa tetap lemah meski program berjalan.
Dapur Sekolah dan Pasar Tradisional Sebagai Solusi
Agar manfaat MBG optimal, pendekatannya harus berbasis komunitas. Setiap sekolah bisa memiliki dapur sendiri, dengan bahan baku yang dibeli dari pasar tradisional terdekat.
Pendekatan ini membawa beberapa keuntungan penting:
Menggerakkan ekonomi lokal. Uang berputar di desa, petani dan pedagang kecil ikut tumbuh. Data BPS (2023) menyebut lebih dari 60% pedagang kecil masih bergantung pada pasar tradisional.
Makanan lebih sehat dan aman. Produksi dalam skala kecil (100--200 porsi per sekolah) lebih mudah diawasi kebersihannya. Penelitian Kemenkes (2022) membuktikan, keracunan makanan sering terjadi akibat distribusi massal yang tidak higienis.
Pemberdayaan masyarakat. Dapur sekolah bisa dikelola oleh ibu-ibu PKK atau kelompok warga, menciptakan lapangan kerja baru dan rasa memiliki terhadap program.