Mohon tunggu...
Ilfi Khairani Rahman
Ilfi Khairani Rahman Mohon Tunggu... lainnya -

love art, cooking mania, kitten love

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Tamatan Pesantren tak Mampu Membaca Kitab (1)

12 Februari 2014   15:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Beberapa hari yang lalu terjadi diskusi yang hangat diantara dua orang sahabat, awalnya saya tidak tertarik karena sedang 'tenggelam' membaca Novel Karangan Elizabeth Kostova yang hampir sebulan tidak tamat-tamat... Sampai ada kata-kata yang saya dengar menyebutkan bahwa ada anak tamatan pesantren yang tidak mampu membaca kitab kuning, seketika saya menajamkan telinga, Novel EK tak lagi menarik, bukan karena saya juga tamatan pesantren namun dikarenakan lebih tertarik tentang kenapa anak pesantren tidak mampu membaca kitab kuning, bukankah di pesantren kitab kuning selalu diajarkan dengan continue dan mendalam..??

Sepengalaman saya, membaca kitab kuning selalu menjadi tonggak penting dalam dunia pesantren sebab Kitab kuning, dalam pendidikan agama islam, merujuk kepada kitab-kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah) yang diajarkan pada Pondok-pondok Pesantren, mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab (`ilmu nahwu dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, 'ulumul qur'an, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah). Kitab kuning juga dikenal dengan kitab gundul karena memang tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab al-Quran pada umumnya. Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu belajar yang relatif lama.

Semakin saya mendengar dan merenungi diskusi hari itu, saya mulai bertanya dan mencari informasi kebeberapa orang kenalan yang mengajar di sebuah pesantren, ternyata penyebabnya adalah, bahwa kurikulum pesantren mulai berasimilasi dengan kurikulum nasional sehinga wajah pesantren mulai merubah pola sebelumnya (tradisional)  dengan mengurangi ciri tradisionalnya (salah satunya mengkaji kitab kuning/ kitab gundul) kurang lebih demikian. Sesaat saya tertegun,,, yang menjadi bahan renungan saya, jika semua pondok pesantren seperti itu akankah pesantren memang benar-benar menjadi pesantren yang mencetak para alim ulama dimasa yang akan datang yang fasheh mengkaji ilmu agama?
Apa jadinya jika anak tamatan pesantren kurang memahami ilmu fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf? kalau hanya mampu mehaminya dari buku terjemahan semuanya juga pasti bisa.
Kemudian hal yang membuat hati ini miris, banyak pesantren yang mulai memfokuskan kurikulum pesantren menjadi lebih modern, dengan menginfusikan beberapa ilmu umum ke dalam kurikulum pesantren, bahkan  perbandingannya sangat significant 80 % ilmu umum dan 20% ilmu agama, jika dulu raport pesantren ada dua yaitu raport pondok dan raport negeri, sekarang yang berlaku hanya satu raport yaitu raport negeri yang sesuai dengan kurikulum pendidikan yang dipakai oleh pemerintah.
Satu sisi ada baiknya wawasan peserta didik akan semakin luas terutama dibidang eksak, sosial dll, namun jika dirunut ke belakang cita-cita dan falsafah berdirinya pesantren sebagai model pendidikan islam berasrama akan semakin terpinggirkan karena Pesantren adalah institusi pendidikan agama islam yang tertua di Indonesia..

Padang Panjang 12 Februari  di kaki Gunung Marapi 2014 15.03

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun