Mohon tunggu...
Destiana Amelia Putri
Destiana Amelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Accounting Student

feminist enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hadirnya UU TPKS di Tengah Maraknya Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan: Perjuangan Kita Masih Panjang!

6 Oktober 2022   20:43 Diperbarui: 6 Oktober 2022   21:48 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image from : pikisuperstar on freepik

Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sedang marak terjadi di Indonesia. Hampir setiap pekan, selalu ada kasus baru yang terkuak di ranah publik. Komnas Perempuan meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2022 yang berisi data laporan kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP). Data menunjukkan terdapat 3.838 kasus yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, sebanyak 7.029 kasus kepada 129 lembaga layanan, dan 327.629 kasus kepada Badan Peradilan Agama (Badilag). Namun diyakini, angka tersebut hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Karena kenyataannya masih banyak kasus di lapangan yang tidak bisa disuarakan oleh para penyintas.

Komnas Perempuan juga mengatakan bahwa selama masa pandemi Covid sembilan belas, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat hingga mencapai 2.500 kasus pada tahun 2021. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, angka yang meningkat ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal, yaitu dalam keluarga atau rumah tangga. Kemudian selama pandemi kasus kekerasan seksual di ranah digital juga semakin meningkat. Hal ini berupa pornografi balas dendam yaitu distribusi atau penyebaran gambar maupun video tidak senonoh secara daring tanpa persetujuan pasangan.

Salah satu contoh kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang sangat memilukan, yaitu kasus pemerkosaan hingga kehamilan yang dialami oleh Novia Widyasari setahun yang lalu. Tak hanya itu, ia juga dipaksa melakukan aborsi oleh sang pacar yang merupakan salah satu anggota kepolisian. Tiada seorangpun yang memihaknya. Kisahnya pun berakhir tragis karena ia memilih untuk mengakhiri hidupnya di samping makam ayahanda nya.

Contoh kasus lainnya, yaitu dua orang anak perempuan di kota Padang yang diperkosa bergilir oleh anggota keluarga laki-lakinya. Saat mereka melapor ke tetangganya, tetangganya justru ikut memperkosanya. Kemudian pelecehan seksual juga dilakukan oleh seorang Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Riau terhadap mahasiswinya saat sedang bimbingan skripsi. Bahkan ada kasus seorang pemilik yayasan pesantren bernama Herry Wirawan yang memperkosa tiga belas santrinya hingga ada beberapa yang hamil dan melahirkan.

Dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan sangat bervariatif dan juga kompleks, bahkan modusnya pun semakin canggih. Hal ini dapat terjadi di mana saja, di tempat umum, di media sosial, di lingkungan kerja, lingkungan pendidikan, bahkan di lingkungan keluarga atau rumah tangga sekalipun. Tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, justru tidak bisa memberi perlindungan kepada perempuan. Perempuan kehilangan haknya untuk merasa aman di ruang publik maupun privat.

Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk diskriminasi gender yang harus dihapuskan. Memang tidak hanya perempuan, siapapun bisa menjadi korban, termasuk laki-laki. Namun tentunya, kasus kekerasan seksual lebih banyak menimpa perempuan yakni mencapai 87 persen. Sedangkan, untuk pria yang mengalami kekerasan seksual hanya sekitar 13 persen. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan konstruksi gender, dimana perempuan dianggap tidak setara dengan laki-laki. Sehingga laki-laki yang merasa lebih superior berpikir bahwa ia dapat memperlakukan perempuan yang lemah dengan semena-mena.

Kekerasan seksual menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap kelangsungan hidup korban, meliputi penderitaan fisik maupun psikis, ekonomi, sosial hingga politik. Korban yang harus mengalami trauma dan depresi yang mendalam, dapat berpotensi untuk terkena Penyakit Menular Seksual (PMS), masih harus menerima caci dan makian dari orang-orang di sekitarnya. Tidak sedikit korban kekerasan seksual yang justru dianggap salah, dikucilkan, bahkan sampai dikenakan hukuman. Sehingga kebanyakan para penyintas lebih memilih untuk diam, karena mereka khawatir akan konsekuensi negatif yang didapat jika melapor.

Situasi kasus kekerasan seksual yang kian mendarurat ini disebabkan oleh akar permasalahan yang masih kuat dalam masyarakat Indonesia. Antara lain budaya patriarki, pemikiran yang konservatif, ketidaksetaraan gender, penyalahgunaan relasi kuasa, minimnya perspektif Hak Asasi Manusia, serta lemahnya sistem hukum negara. Sehingga mengupayakan hukum yang adil, proporsional, komprehensif dan berorientasi pada hak serta kebutuhan korban adalah wujud nyata kehadiran negara untuk hadir bagi para korban kekerasan seksual. Indonesia membutuhkan payung hukum yang tidak hanya menghukum berat pelaku, tetapi juga mampu memberikan perlindungan kepada korban.

UU TPKS yang dalam proses pengesahannya penuh kontroversi, akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 April 2022 lalu. Regulasi ini diharap mampu mengoptimalkan pencegahan dan penanganan berbagai persoalan kekerasan seksual yang terus terjadi dalam berbagai motif. Pengesahan UU TPKS patut dirayakan sebagai momentum penting bagi para penyintas. Namun perjuangan demi terciptanya Indonesia bebas kekerasan seksual masih panjang. Kesungguhan dari segala pihak untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut secara efektif masih harus diperhatikan.

Maka dari itu, kita semua perlu mengawal implementasi UU TPKS agar sesuai dengan tujuannya, yaitu yang meliputi pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga penanganan selama proses hukum. Marilah kita ikut serta berdiri dan maju untuk membangun solidaritas anti kekerasan seksual terhadap perempuan. Pelajari tanda-tanda kekerasan seksual, tolaklah budaya patriarki yang konservatif, ciptakan ruang aman bagi para penyintas, dan sosialisasikan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan besar yang menjadi musuh negara, bangsa, dan agama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun