Berbahasa ternyata bukan persoalan sederhana. Itulah mengapa perlu memberikan apresiasi pada guru-guru bahasa kita. Termasuk memberi perhatian pada pelajaran mengarang yang telah mereka berikan sebagai metodologi pembebasan berpikir. Terima kasih para guru bahasa.
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber: http://seadanyadeh.blogspot.com/"][/caption]
TERIMA KASIH para guru, terutama guru bahasa. Seandainya tidak ada para guru bahasa, saya akan bertahun-tahun menyebut hewan berkaki empat penghasil susu segar di dekat rumah sebagai 'sampi' dan menyebut sejawatnya sebagai 'kebo' dan memakai bahasa 'ane' dan 'ente' untuk menyebut diri dan orang lain serta tidak peduli soal SPOK, gatra, dan lainnya.
Belakangan ini baru saya sadar bahwa berbahasa bukan soal berkomunikasi saja, bukan sekedar menyampaikan pesan. Dalam berbahasa ada banyak yang perlu dipelajari, mulai dari memilih kosa kata yang pas, menggunakan tata bahasa yang tepat, logika dan koherensi kalimat, hingga efektivitas kalimat. Siapa yang bisa membantu mempelajari berbahasa, sudah barang tentu adalah para guru.
Menurut pendapat saya, guru berbahasa tidak semata pada mereka yang ada di institusi pendidikan formal. Bahkan setiap orang dapat menjadi guru berbahasa tanpa kecuali. Orang tua di rumah dapat memulainya dengan mengajarkan bahasa berdasarkan derajat kesopanan, misalnya. Ingatlah selalu, dengan bekal berbahasa, kita kemudian dapat memahami hal-hal yang lebih luas dan lebih besar.
Bicara soal guru bahasa, saya teringat pengalaman di sekolah. Nama guru saya, Pak Gunawan Sudarsono. Ia selalu memberi ruang para murid untuk belajar mengarang. Pak Sudarsono berbeda dengan Bu Tati, ibu guru pelajaran mengarang dalam cerita pendek Seno Gumira Adjidarma. Ia tidak menawarkan tiga judul mengarang yang ditulisnya di papan putih: “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Setiap kami bebas menulis tema apa saja. Ukuran bagus tidak, katanya suatu kali, bukan berdasarkan panjang atau pendek. Ukurannya sangat jelas dari isinya yang berasal dari isi pikiran kami atau bukan. Amati tanda-tanda di sekitar dan jadikan karangan yang terbaik, demikian ujarnya berkali-kali.
Lalu kami menulis. Karena sifatnya mengarang bebas, kami tidak mempunyai rumusan baku bagaimana harus memulainya. Tidak harus dengan kalimat "Pada suatu hari..." atau "Pada suatu ketika..." Saya sendiri selalu menulis soal petualangan, yang mencampuradukkan hal sehari-hari dengan imajinasi. Apa yang imaji dan sehari-hari itu selalu bersilangan dan karenaya tumpang-tindih. Semacam tulisan-tulisan imajinatif Putu Wijaya, tetapi juga harus sepresisi apa yang dituliskan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Semacam itulah ideologi mengarang saya.
Yang saya petik dari pelajaran mengarang bebas ala Pak Sudarsono, kami telah diberi kesempatan untuk menginterpretasi kehidupan di sekitar kami, mulai dari keseharian sampai ke imajinasi yang berkembang liar di dalam pikiran kami. Interpretasi atas tanda-tanda yang berpendar di sekitar kami inilah awal dari apa yang bisa disebut sebagai apresiasi. Apa yang diapresiasi, tidak lain dan tidak bukan adalah kehidupan itu sendiri, lewat berbahasa menemukan sastra jendra kehidupan.
Maka hari ini, sempatkan untuk mengucapkan terima kasih pada guru-guru berbahasa kita.
[dam]
berstatus anak guru, beristri seorang guru bahasa, dan murid kehidupan