Lima tahun menuntut ilmu di perantauan yang cukup jauh dari kampung halaman, tentu banyak suka duka, banyak pula cerita indah dan sedih yang saya alami.
Dari kampung kecil di Kabupaten Padang Pariaman, Ambung Kapur namanya, usai tamat sekolah dasar tahun 1988, saya melanjutkan sekolah ke Padang Magek, Kabupaten Tanah Datar.
Sekali berangkat, kami tiga orang yang sama tamat tahun itu di sekolah dasar. Pun sama diantar oleh ketiga ayah kami. Terutama ayah saya sudah pernah di Padang Magek saat bujangnya, bahkan ayah tamat sekolah Persiapan IAIN di Batusangkar.
Di Piaman terkenal, kalau Batusangkar itu daerah darek, yakni daratan Minangkabau. Dari Sicincin kamu tak naik Bus APB yang lagi terkenal kala itu.
Melainkan mobil jurusan Sicincin -Padang Panjang menawarkan jasanya untuk langsung mengantar ke Padang Magek.
Turun di Surau Tabiang, salah satu asrama Pondok Pesantren Darul Ulum yang terletak di perbatasan Padang Magek dengan Rambatan.
Di tahun pertama di situ, satu teman kami, Ali Mutamar memilih pindah sekolah ke kampung. Setidaknya ini cerita awal kegoncangan bagi orangtua kami di kampung.
Kemudian, di tahun ketiga seiring kawan semakin banyak dan bertambah, kawan yang sama berangkat satu lagi memilih istirahat.
Dia tak lagi mondok di situ. Artinya, tinggal saya seorang dari tiga teman tadi yang sama-sama tamat sekolah, sama berangkat dan sama diantar oleh ayah kami.
Pun memasuki tahun ketiga itu, saya memilih pindah asrama ke pusat Darul Ulum, tepat Surau Baru. Lima tahun (1988-1993) saya tinggal dan menuntut ilmu di pesantren yang didirikan oleh Buya Salim Malin Kuniang itu.