Pengembangan ekonomi pesantren dan santri, agaknya menjadi prioritas utama dalam memanfaatkan momen Hari Santri Nasional tahun ini. Apalagi santri dan pesantren di Kabupaten Padang Pariaman dan Sumatera Barat.
Pesantren, di Minangkabau lebih familiar dengan sebutan surau. Tapi itu dulu. Dulu sekali, hingga era 1980 an. Sekarang, sebutan surau mulai hilang, pesantren sudah mentereng dan melambung tinggi.
Tak heran, dulu banyak sebutan untuk anak-anak yang belajar di pesantren itu. Ada yang menyebut "pakiah" dan itu mashur di kalangan masyarakat.
"Dima mengaji, Pakiah," tanya seorang ibu tua ketika seseorang pakai sarung menyandang buntil berisi beras ke rumahnya, Kamis dan Jumat.
Pakiah menjawab dengan jujurnya, di Surau Ungku Sidi Sintuak, Mak, misalnya kalau pakiah itu mengaji di Pesantren Jamia'tul Mukminin Sintuak yang dipimpin Buya Azwar Tuanku Sidi.
Kamis dan Jumat bagi pesantren berbasis surau itu adalah hari yang diliburkan. Tak ada kegiatan mengaji dan belajar, kecuali pergi jalan-jalan ke kampung-kampung untuk meminta belas kasihan orang lain.
Hal seperti itu di pesantren disebut dengan "mamakiah". Hingga kini kegiatan itu masih berlanjut, meskipun itu bukan perintah atau suruhan guru, tetapi intinya bagaimana santri itu mandiri, mampu hidup sederhana dengan apa adanya di kemudian hari, bila tak lagi mengaji di pesantren.
Dan ada pesantren yang mulai melarang dan membatasi kegiatan mamakiah, dan cukup satu kali saja dalam sepekan, yakni hari Kamis saja. Sedangkan Jumat dibuat jadwal khusus mengaji dari pagi hingga sore dan sampai malam.
Ada beberapa kategori, kenapa santri yang dikenal dengan pakiah dan "orang siak" itu melakukan mamakiah tiap pekan, Kamis dan Jumat.
Pertama, memang itu kebutuhan dasar karena pada umumnya yang belajar di pesantren berbasis surau itu terdiri dari anak-anak kurang mampu, orangtuanya miskin, sehingga setiba di pesantren anak itu harus melakukan cara demikian untuk tambahan bekal hidupnya.