Di dahulukan tadarusan. Baik tadarus Quran maupun tadarus Tafsir oleh para tuanku dan calon tuanku. Yang tua-tua, terutama yang tidak ada lagi punya tanggungan di rumahnya, lebih memilih tinggal di surau selama puasa. Mereka juga punya kelompok yang datang dari kampung tetangga, menggelar sembahyang 40 hari namanya.
Pokoknya, selama puasa surau itu tak pernah sepi. Ramai terus siang dan malam. jauh beda dengan surau dan masjid zaman sekarang.
Memang Tarwih-nya ramai. Tapi masjid sepi setelah itu. Tak ada tadrusan, apalagi tempat anak-anak bermain, dan tempat yang tua-tua saling berbagi cerita, sembari beribadah 40 hari tak pernah putus shalat jamaahnya.
Kala itu pula rasa kebersamaan terasa tinggi di tengah masyarakat. Kegiatan gotong royong jadi pemupuk rasa persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat suatu kampung. Sebab, rasa kebersamaan itu mereka praktekkan lewat tadarusan bersama. Biar cuma dua atau tiga kali khatam Quran, tetapi dilakukan secara bersama, delapan sampai 12 orang dalam satu kelompok.
Jadi, Ramadhan mampu membentuk nilai-nilai kebersamaan. Rasa persatuan, gotong royong dan rasa memiliki di tengah masyarakat. Rasa ini yang hilang saat ini. Orang tidak lagi memikirkan sesuatu itu secara bersama.
Ada dia tadarus, tapi sendirian. Entah salah atau benar yang dia baca, dia sendiri pula yang tahu. Agaknya, budaya tadarusan bersama, berkelompok ini penting dihidupkan kembali.
Banyak pelajaran yang terhimpun di dalamnya, yang amat menghidupkan suasana Ramadhan secara bersama, memakmurkan surau dan masjid secara bersama pula, tanda masjid dan surau itu memang milik bersama.