Ramadhan dan tadarusan. Ini yang terkesan kala saya masih kecil dan baru mulai belajar puasa. Kenapa! Sebab, sepanjang malam di surau itu beberapa kelompok tadarusan yang membaca Quran dari awal.
Seorang membaca paling satu dikak, lalu yang lainnya menyimak apa yang dibaca seseorang tadi. Kalau menurut yang tidak membaca, yang dibaca orang itu salah, langsung dihentikan, ditegur dan dibetulkan apa sesugungguhnya bacaan yang betulnya.
Kelompok ini terdiri dari remaja yang sudah pernah khatam Quran, dan sedang mendalami ilmu tajwib Quran itu sendiri.
Lalu, tak jauh dari kelompok itu, ada lagi kelompok para lansia perempuan. Juga tadarusan seperti kelompok di sampingnya. Membaca secara bergantian.
Mereka duduk saling berkeliling, dan di tengah-tengahnya ada aneka makanan yang dibawa dari rumah oleh kaum perempuan.
Penat mengaji, orang itu tak mesti beranjak dari tempat duduknya. Cukup santai saja sambil menikmati makanan kolak, pisang dan gorengan lainnya yang sengaja dibawa dari rumah sehabis buka puasa oleh orang tua-tua, yang diperuntukkan buat orang yang sedang mengaji tadarusan.
Lalu, di surau ketek, atau surau yang biasa dipakai untuk tidur malam, itu juga berlangsung tadarusan. Di sana ada sejumlah pelajar pesantren yang pulang kampung karena puasa, lalu oleh tuanku yang menetap di sana dan tuanku kampung lainnya diadakan tadarus Tafsir Jalalein.
Ya, bergantian juga membaca arti dari Tafsir tersebut. Sampai tamat pula selama sebulan puasa itu. Semalam itu tak ada patokannya. Berapa sanggupnya saja, lalu kegiatan dilanjutkan dengan Shalat Tarwih berjamaah di Surau Gadang.
Ini pemadangan rutin saya lihat dulunya. Dulu, sekitar era 1980 an di Surau Koto Runciang. Kala itu surau-nya masih di tepi Sungai Batang Ampalu. Beberapa tahun yang lalu, sekitar awal 1999, surau itu dipindahkan ke bagian perkampungan, tepatnya ke Kajai. Surau yang di tepi batang air tinggal dan runtuh oleh gempa 2009 lalu.
Dulu itu, surau di samping tempat mengaji, beribadah, juga sekalian jadi tempat tidur di malam hari. Anak-anak yang mengaji malam, sama sekali tak lagi pulang ke rumahnya, melainnya sehabis mandi pagi saja lagi pulang ke rumah.
Begitu juga saat puasa masuk. Surau jadi pusat keramaian tersendiri zaman itu. Yang belum pandai mengaji, ya menghabiskan malamnya jelang Shalat Tarwih dengan main-main sesama mereka. Shalat Tarwih sengaja dilakukan agak tengah malam.