Budaya Korea Selatan saat ini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan budaya paling berpengaruh di dunia. Musik K-pop, drama Korea (K-drama), dan fashion dari negeri ginseng ini telah menarik perhatian masyarakat global, termasuk di Indonesia. Namun, di balik popularitas tersebut, terdapat sisi gelap yang jarang mendapat sorotan, yakni tekanan luar biasa yang dihadapi oleh para selebriti Korea Selatan dalam menjalani kehidupan mereka di bawah sorotan publik. Isu ini tidak hanya menyangkut kehidupan pribadi mereka, tetapi juga menyentuh aspek hukum, moralitas sosial, hingga ketimpangan perlakuan media dan masyarakat terhadap figur publik.
Salah satu contoh nyata dari realitas ini adalah kasus yang menimpa aktris muda Kim Sae-ron. Dikenal sebagai aktris cilik berbakat yang sukses menapaki dunia akting sejak usia dini, karier Kim Sae-ron mendadak runtuh setelah terlibat dalam kasus DUI (driving under influence) pada tahun 2022. Perbuatannya memang merupakan kesalahan yang tidak dapat dibenarkan, namun reaksi keras dari masyarakat menunjukkan bahwa kesalahan sekecil apa pun dari figur publik bisa berdampak luar biasa besar. Netizen Korea dikenal sangat kritis, dan dalam kasus ini, tekanan yang mereka berikan nyaris tidak memberi ruang bagi proses hukum yang adil. Karier Kim Sae-ron yang telah dibangun sejak kecil seolah dihancurkan dalam semalam.
Sebaliknya, Kim Soo-hyun, seorang aktor papan atas Korea Selatan, mengalami tekanan dalam bentuk yang berbeda. Meski tidak terjerat kasus hukum, kehidupan pribadinya kerap menjadi sasaran rumor dan spekulasi publik, terutama terkait hubungannya dengan rekan kerja. Media dan netizen berlomba-lomba menyelidiki dan mengomentari kehidupan pribadinya, seolah ia adalah milik publik yang harus selalu sesuai dengan harapan mereka. Ini menunjukkan bahwa bahkan tanpa kesalahan nyata, seorang selebriti tetap bisa menjadi sasaran tekanan hanya karena tidak memenuhi ekspektasi masyarakat. Yang lebih ironis, terdapat perbedaan mencolok dalam perlakuan antara selebriti pria dan wanita. Dalam banyak kasus, aktor pria tampak lebih mudah “dimaafkan” oleh publik, sementara selebriti wanita kerap kali mengalami hukuman sosial yang lebih keras.
Kasus-kasus seperti yang dialami Kim Sae-ron dan Kim Soo-hyun mencerminkan betapa kuatnya pengaruh opini publik dalam membentuk nasib seorang figur publik di Korea Selatan. Di negara yang sangat menghargai citra dan reputasi, tekanan sosial sering kali menjadi "pengadilan" pertama sebelum hukum berbicara. Dalam banyak situasi, figur publik tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan atau memberikan klarifikasi karena ruang itu telah tertutup oleh vonis masyarakat. Ini menunjukkan ketimpangan antara kekuatan media dan perlindungan hukum terhadap individu, khususnya mereka yang hidup di bawah sorotan.
Secara hukum, Korea Selatan memang memiliki regulasi yang mengatur pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu. Namun, implementasinya kerap tidak efektif dalam melindungi selebriti dari serangan bertubi-tubi di media sosial. Banyak selebriti mengalami tekanan mental luar biasa hingga berujung pada depresi, bahkan kasus bunuh diri. Dalam hal ini, peran negara, lembaga hukum, serta platform digital sangat penting untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan hak individu.
Dari fenomena ini, kita bisa menarik pelajaran bahwa popularitas bukan hanya membawa keuntungan, tetapi juga beban sosial yang besar. Kita perlu menyadari bahwa selebriti tetaplah manusia biasa yang memiliki hak atas privasi, proses hukum yang adil, dan ruang untuk memperbaiki diri. Penting bagi masyarakat, termasuk netizen Indonesia yang juga mengikuti budaya Korea, untuk mengembangkan sikap lebih empatik dan tidak mudah menghakimi berdasarkan potongan informasi yang tersebar di internet.
Sebagai penutup, sudah saatnya Korea Selatan, dan juga negara-negara lain yang memiliki industri hiburan besar, membentuk regulasi yang lebih jelas dan tegas dalam melindungi figur publik dari ekses berlebihan opini publik. Selain itu, edukasi literasi digital bagi masyarakat juga harus menjadi prioritas, agar ruang daring tidak menjadi ladang perundungan kolektif yang merusak kehidupan individu. Mengomentari bukan berarti memiliki, dan mengkritik bukan berarti harus menyakiti. Kesadaran ini penting untuk membangun budaya publik yang lebih sehat dan berkeadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI