Mohon tunggu...
Dahlia Abdullah
Dahlia Abdullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - IRT, Agen HNI HPAI, Belajar Menjadi Penulis

Moto Hidup Adalah Jangan Pernah Menyerah Untuk Bergerak Maju, Walau Sekecil Apapun Langkahmu Yang Terpenting Kau Terus Bergerak Maju.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengalaman Menikahkan Anak di Masa Pandemi

19 April 2021   09:00 Diperbarui: 19 April 2021   09:00 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tepat satu tahun yang lalu, 2 Maret 2020, pemerintah mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia. Sejak itu kasus demi kasus berkembang dengan pesatnya. Hampir seluruh sektor terdampak, tak hanya kesehatan. Adanya pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian. 

Di Jakarta, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertama dilakukan pada 10 April 2020-4 Juni 2020. Kebijakan ini kemudian diikuti dengan PSBB transisi yang dimulai pada 5 Juni 2020 dan terus mengalami perpanjangan setiap 2 minggu. Berdasarkan peraturan Gubernur DKI Jakarta, kegiatan yang sifatnya mengumpulkan banyak orang masih belum diizinkan, termasuk acara resepsi pernikahan.

Kami merencanakan pernikahan putri pertama kami pada bulan Juli 2020. Persiapan sudah kami lakukan mulai dari bulan Desember 2019, saat itu tidak ada yang menyangka akan terjadi pandemi. Persiapannya sudah 75 persen di bulan Februari 2020, mulai dari  gedung, dekorasi, katering, undangan hingga baju pengantin. Cepatnya persiapan ini karena pada bulan April - Mei sudah mulai bulan puasa dan Lebaran. Jadi, kami ingin fokus ibadah tanpa harus mengurus pernikahan.

Namun, pada bulan Maret 2020, pandemi sudah masuk ke Indonesia dengan diberlakukannya PSBB di Jakarta. Kebingungan mulai melanda ketika sampai bulan Mei - Juni belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir. Pada saat itu di Jakarta, pernikahan hanya boleh dilakukan di KUA dengan dihadiri sepuluh orang saja, yaitu kedua calon pengantin, orang tua dari kedua belah pihak, saksi, dan penghulu. 

Kami sebagai orang tua berunding dengan putri kami untuk memutuskan apakah pernikahan akan ditunda atau tidak, dengan pertimbangan kalau dilanjutkan maka pernikahannya dilakukan di KUA atau sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kami punya keyakinan kalau niat baik harus tetap dilaksanakan. Kedua pihak keluarga menyerahkan keputusan akhir  pada kedua calon pengantin. Kami sadar bahwa setiap perempuan pasti mempunyai  impian tentang  pernikahannya, tidak terkecuali putri kami. Namun, dengan ikhlas putri kami setuju pernikahan diteruskan karena kalau ditunda pun, kami tidak tahu sampai kapan, karena tanda-tanda pandemi berakhir belum ada. 

Tiga minggu sebelum hari pernikahan, kami masih tidak tahu tempat pernikahan akan dilaksanakan. Bingung? Jelas karena ini kali pertama kami mau mengadakan pernikahan, tetapi tempat untuk pernikahannya belum jelas. Semua persiapan yang sudah dilakukan tidak bisa diteruskan, sementara uang muka yang sudah dibayarkan juga tidak bisa dikembalikan. Dua minggu sebelum hari pernikahan, ada kabar bahwa pernikahan boleh dilakukan di gedung dengan dihadiri oleh tiga puluh orang, termasuk pengantin dengan protokol kesehatan yang ketat. 

Kami pun segera menghubungi pihak gedung yang dari sejak awal sudah kami pesan. Persiapan kilat mulai kami lakukan dengan berbagai penyesuaian agar sesuai dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah daerah. Kami tidak berani melanggar ketentuan yang berlaku supaya tidak tercipta klaster penularan baru dari pernikahan ini. Berbagai kecemasan datang dan pergi menjelang hari pernikahan ini karena situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Kami, terutama saya sebagai seorang ibu, merasa khawatir putri kami akan kecewa dengan pesta pernikahannya yang tidak seperti direncanakan semula.

Akhirnya hari pernikahan datang. Alhamdulillah semua bisa berjalan dengan lancar walau dengan berbagai keterbatasan. Melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah kedua pengantin, hilanglah berbagai kecemasan dan kekhawatiran. Keluarga besar yang tidak bisa hadir pun bisa menyaksikan langsung lewat live streaming dan bisa berinteraksi langsung dengan kedua pengantin. 

Pernikahan di tengah pandemi memberikan pengalaman baru yang cukup menegangkan, termasuk kerugian yang tidak sedikit baik, kerugian moral maupun spiritual. Undangan yang sudah tercetak, tertumpuk dengan manisnya di sudut ruangan rumah kami sampai sekarang, juga begitu juga dengan suvernir pernikahan. Namun, semua terbayarkan dengan kebahagiaan anak-anak kami, putri kami dan suaminya kini. 

(Ed. Haeriah Syamsuddin)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun