Pasar otomotif Indonesia sedang berubah. Tahun 2024, penjualan mobil bekas mencapai sekitar 1,8 juta unit. Angka ini hampir dua kali lipat dibanding penjualan mobil baru yang hanya 865 ribu unit.
Mengapa banyak orang lebih memilih mobil bekas daripada mobil baru?
Mobil baru memang terlihat menggoda, tapi nilainya langsung turun begitu keluar dari showroom. Dalam 1–2 tahun pertama, harganya bisa anjlok belasan hingga puluhan persen. Sedangkan pada mobil bekas, penurunan terbesar itu sudah terjadi. Jadi, kalau nanti dijual lagi, kerugiannya tidak terlalu besar.
Harga mobil baru naik rata-rata 3% setiap tahun. Sementara itu, penghasilan kelas menengah tidak naik secepat itu. Ditambah cicilan, pajak, dan asuransi, beban mobil baru terasa berat. Mobil bekas pun jadi pilihan yang lebih realistis.
Menurut data Carro, 64% pembeli mobil bekas pada paruh pertama 2024 adalah generasi milenial. Bagi mereka, mobil bukan lagi sekadar simbol status, tapi alat transportasi yang harus masuk akal secara finansial.
Tentu saja, mobil baru punya keunggulan: fitur keselamatan modern, mesin lebih efisien, hingga garansi pabrik. Semua ini memberi rasa aman. Tapi pertanyaannya: apakah selisih harga sepadan dengan manfaatnya?
Tren ini menunjukkan konsumen Indonesia makin cerdas dalam menghitung untung rugi. Banyak orang kini berani melepas gengsi dan lebih fokus pada manfaat. Pasar mobil bekas yang dua kali lebih besar dari mobil baru menjadi bukti bahwa mobil bekas bukan lagi “pilihan kedua”, melainkan alternatif utama.
Ke depan, selama harga mobil baru naik lebih cepat daripada pertumbuhan pendapatan, mobil bekas kemungkinan tetap jadi primadona. Mungkin inilah tanda lahirnya budaya baru: lebih pintar membeli lebih penting daripada sekadar membeli yang baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI