Hijab, Revolusi Iran, dan Kita yang Tak Sadar Sedang Mengulang Sejarah
Coba sesekali buka album lama keluarga. Amati baik-baik foto nenek atau ibu kita saat muda, terutama yang diambil sebelum tahun 1980 an. Sebagian besar dari mereka tidak memakai hijab sebagaimana yang kita kenal hari ini. Kalau pun mengenakan penutup kepala, biasanya hanya berupa kain tipis yang disampirkan seadanya. Tidak ada ikatan kuat antara pakaian itu dengan identitas keagamaan. Ia lebih terlihat sebagai bagian dari budaya ketimuran, bukan simbol syariat.
Namun hari ini, pemandangan itu terasa sangat berbeda. Hijab sudah menjadi identitas norma sosial di berbagai kalangan. Bahkan dalam beberapa lingkungan, tidak mengenakannya bisa dianggap sebagai tindakan menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Yang menjadi pertanyaan penting: bagaimana transisi ini bisa terjadi begitu masif? Apa yang mengubah persepsi masyarakat Muslim terhadap hijab dalam kurun waktu yang relatif singkat?
Salah satu jawabannya terletak pada peristiwa besar yang terjadi ribuan kilometer dari Indonesia, tepatnya di Iran pada tahun 1979.
Revolusi Iran menjadi salah satu tonggak sejarah terpenting dalam dunia Islam kontemporer. Dipimpin oleh Ayatollah Khomeini, revolusi ini berhasil menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang dikenal pro-Barat dan sangat sekuler. Dalam waktu singkat, Iran berubah dari kerajaan modern menjadi Republik Islam yang menjadikan hukum-hukum keagamaan sebagai asas negara.
Namun pengaruh revolusi itu tidak hanya terbatas pada politik Iran. Dampaknya menjalar jauh melintasi batas negara dan mazhab. Dunia Islam menyaksikan bagaimana sebuah negara modern mampu dikendalikan oleh kekuatan Islam politik, dan itu membangkitkan semangat baru di kalangan umat Muslim, termasuk di Indonesia.
Salah satu simbol paling kuat dari perubahan itu adalah hijab. Di Iran, pemakaian hijab diwajibkan dan dijadikan contoh moralitas Islam, serta bentuk perlawanan terhadap pengaruh hedonistik Barat. Gambar-gambar perempuan Iran berjilbab yang ikut turun ke jalan saat revolusi menjadi representasi kuat bahwa hijab bukan sekadar simbol ketaatan, melainkan juga semangat perjuangan.
Tak butuh waktu lama, citra ini mulai mempengaruhi negara-negara Muslim lainnya, termasuk Indonesia. Pada awal 1980 an, muncul fenomena "jilbab kampus" di beberapa universitas besar seperti Universitas Indonesia, ITB, dan IPB. Para mahasiswi yang mulai mengenakan jilbab bukan hanya melakukannya karena faktor religiusitas pribadi, tetapi juga karena pengaruh narasi Islam transnasional yang dibawa oleh revolusi Iran dan jaringan gerakan Islamis global.
Sejarawan Noorhaidi Hasan dalam bukunya Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia menyebutkan bahwa sejak akhir 70-an hingga 80 an awal, mulai muncul geliat Islamisme kampus yang menampilkan simbol-simbol baru kesalehan, salah satunya adalah pemakaian jilbab. Bahkan, saat itu jilbab sempat dilarang di sekolah-sekolah negeri dan menjadi isu sosial tersendiri. Namun tekanan dari berbagai elemen masyarakat Muslim membuat aturan itu akhirnya dilonggarkan pada dekade 1990-an, dan sejak saat itulah jilbab mulai menjadi bagian dari arus utama.
Menariknya, meskipun Indonesia bukan negara Syiah seperti Iran, pengaruh simbolik Revolusi Iran tetap terasa. Ini membuktikan bahwa ideologi, jika dikemas dengan kuat dan penuh semangat, bisa melampaui batas mazhab, negara, bahkan budaya.
Kini, puluhan tahun setelah Revolusi Iran, banyak dari kita mungkin tidak menyadari bahwa perubahan cara berpakaian yang kita anggap sebagai "kebiasaan" atau "kewajiban agama", sesungguhnya adalah hasil dari dinamika sejarah global yang sangat politis.