Pembukaan Ruang Politik di Jawa pada Tahun 1936
Pada tahun 1936, terjadinya perubahan kepemimpinan di Hindia Belanda dengan diangkatnya Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sebagai gubernur jenderal menandai awal dari periode baru dalam politik di Hindia Belanda. Gubernur jenderal yang tidak seotoriter sebelumnya, membuka peluang bagi aktivitas politik Indonesia yang lebih dinamis.[1]
Partai-partai politik yang tidak terlalu radikal diizinkan kembali untuk berkumpul dan anggota-anggota Dewan Rakyat yang kooperatif diberikan kebebasan untuk berbicara secara terbuka. Perubahan ini menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi para aktivis dan pemimpin politik Indonesia untuk mengembangkan ide-ide mereka tanpa takut akan represi yang ketat.
Perubahan kebijakan ini tidak hanya memberikan ruang bagi partai-partai yang moderat, tetapi juga menginspirasi solidaritas di kalangan rakyat Indonesia yang mulai menyadari ancaman dari situasi internasional yang tengah berkembang. Situasi politik di Eropa, khususnya ekspansi agresif Jerman yang merebut wilayah-wilayah tetangganya, seperti Saarland, Rhineland, Austria, Sudetenland, dan Cekoslowakia, menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang Indonesia.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar muncul mengenai masa depan Hindia Belanda: Apakah wilayah ini akan diambil alih oleh Jepang? Ataukah menjadi milik Inggris dan Amerika Serikat? Ketidakpastian ini mendorong terjadinya solidaritas yang lebih kuat di antara masyarakat Indonesia.
Kelahiran Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada 1939
Menghadapi situasi global yang semakin tidak menentu, tepat pada bulan Mei 1939 Hindia Belanda menyaksikan kelahiran Gabungan Politik Indonesia (GAPI). GAPI merupakan front persatuan dari hampir seluruh gerakan politik yang belum dibungkam atau diasingkan, termasuk para pemimpin Muslim yang berhati-hati, sosialis yang ragu-ragu, dan nasionalis moderat. Pembentukan GAPI ini mencerminkan upaya kolektif untuk mempersatukan berbagai elemen masyarakat Indonesia dalam menghadapi ancaman kolonialisme dan fasisme.
Setelah kegagalan Petisi Soetardjo pada tahun 1938, para aktivis Indonesia melakukan penyesuaian ulang terhadap cita-cita politik mereka. Sebelumnya petisi tersebut bertujuan untuk mencapai “otonomi parsial” melalui negosiasi dengan Belanda, tetapi hasilnya sangat mengecewakan, sehingga mendorong pencarian strategi baru yang lebih efektif. GAPI pun muncul sebagai jawaban atas kebutuhan akan persatuan dan koordinasi yang lebih baik dalam perjuangan kemerdekaan dengan fokus pada pembentukan lembaga legislatif yang mewakili rakyat.
Manifesto GAPI dan Kampanye “Indonesia Berparlemen”
Pada September 1939, hanya tiga minggu setelah dimulainya Perang Dunia II, GAPI mengajukan manifesto yang menyerukan bentuk kerja sama baru antara rakyat Hindia dan pemerintah Belanda. Manifesto ini menekankan pentingnya kerja sama sebagai kunci untuk menghadapi berbagai krisis yang mungkin akan muncul di masa depan. GAPI menyadari bahwa Belanda memiliki kekuatan politik dan ekonomi, tetapi rakyat Indonesia merupakan kekuatan massa yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, kerja sama antara kedua belah pihak dianggap sebagai satu-satunya cara efektif untuk merespons tantangan yang ada.
Kampanye “Indonesia Berparlemen” menjadi inisiatif politik terbesar pada tahun-tahun terakhir kolonialisme di Hindia Belanda. Gerakan ini mengajak berbagai lapisan masyarakat, termasuk organisasi mahasiswa, asosiasi wanita, gerakan pemuda, dan serikat pekerja, untuk bergabung dan mendukung visi pembentukan parlemen yang mewakili rakyat Indonesia.
Pada musim gugur 1939, GAPI berhasil mengadakan banyak pertemuan dengan lebih dari 80.000 peserta secara total. Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi dan dukungan yang luar biasa terhadap GAPI dari masyarakat.