Pada masa awal Islam, umat Muslim memahami ajaran Al-Qur'an dan syariah (hukum Islam) dengan mengacu pada makna literal dan menafsirkan langsung dari teks. Hal ini terjadi karena konteks sosial dan kebudayaan saat itu masih dekat dengan masa kenabian dan mereka dapat langsung bertanya atau merujuk kepada Nabi Muhammad untuk menjelaskan makna ayat-ayat yang masih ambigu.
Setelah masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama), umat Islam mulai mengalami berbagai permasalahan sosial, politik, dan teologis yang lebih kompleks. Perbedaan pemahaman dan penafsiran syariah pun mulai muncul, terutama ketika mereka berhadapan dengan kondisi-kondisi di zaman baru yang tidak secara langsung dijelaskan dalam teks-teks suci.
Tepat ketika terjadi pembunuhan Khalifah Utsman yang menyebabkan keretakan yang signifikan dalam komunitas Muslim. Kondisi pasca-Utsman ini berujung pada perpecahan politik dan teologis di tengah umat Islam. Perpecahan ini tidak hanya mempengaruhi aspek politik saja, tetapi juga mempengaruhi pemahaman terhadap ajaran agama, termasuk pemahaman kepada hukum (syariah).
Kelompok-kelompok, seperti Khawarij  dan Syiah, kemudian muncul dengan interpretasi mereka sendiri terhadap hukum syariah. Masing-masing kelompok berusaha menafsirkan teks-teks suci sesuai dengan kepentingan politik dan teologis mereka, yang sering kali melibatkan penggunaan teks secara selektif dan literal tanpa mempertimbangkan konteks ayat dan hujjah yang lebih luas.
Oleh karena itulah, Abduh menekankan bahwa untuk memahami syariah dengan benar, umat Islam perlu melihat lebih jauh daripada sekadar makna literal dari teks. Mereka harus memahami tujuan dan maksud di balik aturan-aturan yang terkandung itu serta mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan historis di mana aturan tersebut diturunkan (asbabun nuzul).
Dia mengkritik kecenderungan para ulama dan masyarakat pada masanya yang cenderung hanya terpaku pada makna literal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis tanpa memperhatikan konteks zaman yang telah berubah. Hal ini sering kali menyebabkan ketidakmampuan untuk menyesuaikan hukum syariah dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat modern.
Selain itu, sikap seperti ini dapat menghindari tindakan yang bernuansa ekstremisme. Abduh menunjukkan bahwasanya ada dua ekstrem dalam memahami hukum-hukum syariah:Â
- Pertama, kelompok yang menafsirkan teks-teks agama secara literal tanpa mempertimbangkan konteks.
- Kedua, kelompok yang menggunakan akal secara berlebihan hingga mengabaikan teks-teks dalam kitab suci.
Dia menyerukan supaya umat Islam menghindari kedua sikap ekstrem ini dan harus berani mengupayakan jalan tengah. Satu-satunya jalan tengah (wasathan) adalah menggunakan pendekatan yang seimbang antara nalar manusia (akal) dengan tetap wajib mengacu pada teks wahyu atau hukum syariah. Hal ini akan membangun keselarasan juga di antara tradisi Islam yang telah berkembang dan pembaharuannya dalam bidang muamalah. Menurut Abduh, syariah dalam hal ini harus dipahami dengan fleksibilitas yang memungkinkan penerapannya dalam berbagai konteks sosial yang berbeda.
Maka dari itu, poin signifikannya adalah dengan mengacu pada penggunaan akal budi yang sehat. Abduh menekankan bahwasanya akal manusia tetap memiliki peran penting dalam menafsirkan dan memahami syariah. Akal membantu untuk memahami tujuan utama dari hukum-hukum syariah, yaitu untuk mencapai keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan umat manusia.
Abduh mengkritik mereka yang menolak penggunaan akal dalam memahami hukum syariah dan hanya mengandalkan tradisi tanpa mempertimbangkan perubahan sosial. Menurutnya, pendekatan seperti ini akan menyebabkan hukum syariah menjadi kehilangan relevansi dan tidak bisa menjawab tantangan zaman.