Ketangkasan Organisasi di Lingkungan Kampus: Strategi Adaptif dalam Era Disrupsi Pendidikan
Oleh:
Dafa Almas Trisnanda (241242010)
Dhiani Kurnia Sari (241242004)
Era disrupsi pendidikan menyelimuti kacamata sepanjang beberapa tahun terakhir, taruh 2025 sebagai tahun representatif. Arus perubahan sektor pendidikan yang cepat macam “war ticket kpop concert” kata Gen-Z yang menjuarai ekosistem digital saat ini. Sebagai Lingkungan yang mewadahi agen agen perubahan, lingkungan kampus saat ini tidak lagi dapat bergantung pada sistem birokrasi tradisional yang lamban dan kaku. Perubahan teknologi, pergeseran ekspektasi mahasiswa, kompetisi global, hingga tantangan pasca era pandemi menuntut perguruan tinggi untuk menjadi lebih tangkas, responsif, dan adaptif.
Sektor pendidikan saat ini nampaknya semakin melebur dengan konsep organizational agility, diksi tangkas-responsif-adaptif sangat melekat menghadapi disrupsi pendidikan ini. Ketangkasan organisasi di lingkungan kampus bukan sekadar tentang kecepatan, tetapi tentang kemampuan institusi untuk membaca perubahan (sensing), mengambil peluang (seizing), dan menata ulang sumber daya (reconfiguring) demi mencapai tujuan yang relevan dan berkelanjutan. Kampus yang agile mampu berinovasi dalam pembelajaran, meningkatkan layanan administrasi, serta membangun ekosistem akademik yang kolaboratif dan terbuka terhadap perubahan.
Secara umum, organizational agility didefinisikan sebagai kemampuan organisasi untuk merespons perubahan secara cepat dan efektif. Dalam konteks perguruan tinggi atau kampus, ini mencakup kemampuan dalam menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri yang dinamis, mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran dan layanan kampus, memberikan ruang bagi kolaborasi antar fakultas, dosen, mahasiswa, dan pihak eksternal, dan merespons masukan dari mahasiswa secara cepat untuk meningkatkan mutu layanan.
Agility bukan hanya peran pimpinan universitas atau dekan, tetapi juga mencakup seluruh ekosistem kampus, termasuk dosen, staf administrasi, dan mahasiswa.
Kembali pada era disrupsi ini tentunya berbanding lurus dengan apa yang menjadi tantangan implementasinya. Seberapa cakap birokrasi kampus yang terbiasa kompleks: Prosedur pengambilan keputusan seringkali lambat dan hierarkis. Ketergantungan pada metode konvensional kemudian keterbatasan infrastruktur digital, terutama di perguruan tinggi daerah dan tak lupa entitas budaya di Indonesia ini yang mana Kesenjangan generasi dan cara pandang antara pimpinan dan mahasiswa.
Probabilitas keberhasilan sajaknya cukup besar, darimana? Dimulai dengan Teknologi digital memungkinkan fleksibilitas dalam pembelajaran dan administrasi disambut mahasiswa generasi Z yang cenderung adaptif dan inovatif dapat menjadi mitra perubahan. Kemitraan eksternal (industri, NGO, pemerintah) membuka peluang kolaborasi dan inovasi. Tak lupa tren micro-credential dan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning) mendorong kampus untuk bertransformasi.
Berkaca pada beberapa kampus yang sudah menerapkan konsep agile organizational, siapa pemerhati pendidikan yang tidak mengetahui Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai salah satu dari 5(lima) kampus teratas di Indonesia yang melalui program blended learning dan platform eLok, UGM merespons kebutuhan pembelajaran jarak jauh dengan cepat. Selain itu, UGM membentuk unit inovasi strategis lintas fakultas untuk merancang program kolaboratif. Hal tersebut merepresentatifkan agility di kampus harus didukung oleh infrastruktur digital dan kolaborasi antar departemen. Universitas Ciputra pun hadir dengan mengadopsi prinsip agile dalam pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), di mana mahasiswa terlibat dalam penyelesaian masalah nyata dari dunia industri. Ketangkasan juga berarti memberi otonomi pada mahasiswa untuk belajar secara aktif dan kreatif. Langkah strategis yang perlu ditindaklanjuti implementasi kampus yang Agile di era digital ini tak lain: