Realitas fenomena diskriminasi gender di Indonesia sendiri dewasa ini memunculkan pergolakan dan perang pemikiran dingin anatara kalangan feminis, agamawan dan pejuang budaya. Jika kita amati bersama, konstruk budaya yang sekian lama sudah tertata di lingkungan sosial masyarakat di negara kita dewasa ini menunjukkan bahwa perempuan adalah golongan ke dua yang unggul dan dianggap lemah serta tidak mampu berperan layaknya kaum laki -- laki. Hal ini akhirnya menjadi pemicu lahirnya berbagai perkumpulan -- perkumpulan yang mendiskusikan dan menentang tentang patriarki di Indonesia.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidak adilan, yakni marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotipe dan kekerasan. Manifestasi ketidakadilan gender tidak dapat dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan satu sama lain. Misal, melalui subordinasi laki-laki kepeda perempuan maka muncullah stereotipe yang memojokkan perempuan, kemudian timbul kekerasan dan akhirnya perempuan termarginalisasi.
Ketika Perempuan Bangkit Tentang Patriarki
Patriarki merupakan konsep strategis yang kerap disebut dalam ketahanan teori feminisme. Ia juga merupakan jantung dari nomenklatur filsafat feminisme. Sylvia Walby telah lama menjadi tokoh utama dalam teorisasi feminisme via perspektif materialisme, terutama dalam bukunya yang paling berpengaruh Theorizing Patriarchy (Wiley-Blackwell, 1990).
Dalam bukunya, Walby menarasikan kondisi ketaksetaraan selama empat dekade terakhir dan masih aktual sampai dengan sekarang. Definisi inklusif feminisme mencakup mereka yang secara eksplisit menyebut diri sebagai feminis, dan atau, yang tak menyebut dirinya sebagai feminis tetapi ikut serta memajukan kepentingan perempuan baik sadar atau tak sadar. Secara sensitif Walby menghargai lokus dan tempus dari kondisi di utara yang diasosiasikan sebagai kaya dan selatan yang diasosiasikan sebagai miskin.
Seorang penulis sekaligus aktivis feminis berkebangsaan Prancis Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1949) Â mengatakan bahwa secara licik patriarki telah melekatkan definisi 'pengasuhan anak' sebagai 'pekerjaan perempuan'. Ini tak hanya mendiskriminasi perempuan, tetapi juga laki-laki-yangmana potensi laki-laki untuk mengasuh dikebiri, yang mana potensi perempuan untuk mengasuh terlalu diglorifikasi (kasus hari Ibu)-seolah perempuan tak boleh cacat dalam pengasuhan. Padahal dalam kenyataannya, ada laki-laki yang sempurna mengasuh anak-anaknya, dan ada perempuan yang buruk mengasuh anak-anaknya.
Sepemikiran dengan de Bauvior, Michael Carrouges dalam majalah Cabiers Du Sud No 292. Dengan jengkel menuliskan bahwa "Akankah nantinya tidak ada mitos tentang perempuankecuali mitos tentang sekumpulan tukang masak, induk semang, pelacur dan ilmuwati yang menjalankan fungsi kesenangan atau kemanfaatan!" Artinya bahwa dalam pandangan laki -- laki bahwa perempuan tidak memiliki eksistensi dalam dan untuk dirinya sendiri; laki -- laki hanya berpikir fungsi perempuan dalam dunianya. Alas an perempuan untuk eksistensinya terletak di tangan laki -- laki. Namun, sesungguhnya, "fungsi" puitisnya dalam sebuah mitos lebih bernilai dibanding lainnya. Alasan sesungguhnya adalah menemukan mengapa perempuan harus di definisikan dalam kaitannya dengan laki -- laki.
Munculnya gelombang perlawanan golongan perempuan hari ini merupakan manifestasi pemikiran serta  teori -- teori kritis yang terlontar dari para aktivis feminis kala itu. Dengan berlatar kesamaan nasib, kesamaan status, serta kesamaan kondisi di tengah penilaian publik mereka mencoba melawan berbagai bentuk paham patriarki demi kesetaraan peran dan fungsi golongan (seks) laki -- laki maupun perempuan. Kini, perempuan dalam mencapai haknya dalam kesetaraan peran dengan laki -- laki mulai terlihat melalui bukti kebijakan pemerintah dalam membuka kuota calon legislatif untuk kuota caleg perempuan 30%. Selain itu, tidak sedikit koorporasi besar di Indonesia yang pemimpinnya adalah perempuan.
Kendatipun, permasalahan pelecehan terhadap kaum perempuan hingga saat ini belum mampu teratasi dengan baik. Mulai kasus matinya Marsinah aktivis buruh di Sidoarjo Jawa Timur hingga pada kasus yang menghasilkan adanya kepincangan perlakuan hukum dalam pelecehan seksual pada Nuril sala shatu  pengajar di Nusa Tenggara Barat. Kebangkitan gerakan para aktivis feminis dalam menentang paham patriarki kini terus berlanjut hingga hak penyetaraan peran dan perlakuan tanpa memandang jenis kelamin atupun bahkan benar -- benar ditegakkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI