Mohon tunggu...
Daeng Sani Ferdiansyah
Daeng Sani Ferdiansyah Mohon Tunggu... Dosen

Saya seorang dosen di Prodi KPI IAIH Pancor yang tak hanya berdedikasi di dunia pendidikan, tetapi juga aktif berbagi pemikiran melalui tulisan di berbagai media berita.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Banjir, Informasi, Krisis Pemikiran: Pentingnya Critical & Creative Thinking Bagi Generasi Muda

10 September 2025   08:23 Diperbarui: 10 September 2025   08:32 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Banjir, Informasi, Krisis Pemikiran: Pentingnya Critical & Creative Thinking Bagi Generasi Muda

Di zaman serba digital, kita hidup dalam arus informasi yang deras, cepat, dan tak terbendung. Setiap detik, linimasa media sosial kita dijejali oleh berita, opini, meme, hingga video pendek yang menggoda untuk ditonton. Namun, di balik derasnya arus tersebut, ada bahaya yang tak kalah besar: kaburnya batas antara fakta dan ilusi.

Indonesia hari ini termasuk salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat 221,6 juta pengguna internet, atau sekitar 79,5% populasi. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan gambaran betapa massifnya ruang digital yang kita tempati setiap hari. Sayangnya, ruang luas ini bukan hanya dipenuhi informasi bermutu, melainkan juga banjir konten dangkal bahkan menyesatkan.

Hoaks yang Tak Pernah Sepi

Kementerian Kominfo mencatat ribuan konten hoaks beredar setiap tahun. Pada 2024 saja, lebih dari 1.900 hoaks ditangani, mulai dari isu politik, kesehatan, hingga agama. Polanya jelas: hoaks selalu menemukan panggung karena media sosial menyediakan ruang penyebaran yang cepat, gratis, dan viral.

Lebih ironis lagi, mayoritas masyarakat Indonesia justru mengandalkan media sosial sebagai sumber berita utama. Laporan Digital News Report menunjukkan hampir setengah populasi Indonesia mengakses berita lewat WhatsApp, YouTube, Instagram, atau TikTok. Dengan karakter platform yang mengutamakan kecepatan dan sensasi, tak heran jika informasi palsu kerap lebih menarik perhatian ketimbang laporan faktual.

Fenomena ini menciptakan apa yang bisa disebut "krisis pemikiran." Masyarakat, terutama generasi muda, terjebak pada pola konsumsi informasi instan: cepat percaya, cepat berbagi, tanpa sempat memeriksa kebenaran.

Budaya FYP dan Dangkalnya Konten

Bagi generasi muda, istilah FYP (For You Page) di TikTok atau reels Instagram sudah akrab di telinga. Konten yang "masuk FYP" sering dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan digital. Padahal, algoritma media sosial tidak bekerja berdasarkan kualitas atau kebenaran, melainkan keterlibatan pengguna: seberapa banyak orang menonton, menyukai atau mengomentari.

Akibatnya, konten yang dangkal dan sensasional lebih mudah viral dibanding konten edukatif yang membutuhkan konsentrasi lebih lama. Laporan Pew Research (2023) menunjukkan sembilan dari sepuluh remaja global menggunakan YouTube, disusul TikTok dan Instagram. Format video singkat membuat remaja terbiasa dengan "pengetahuan instan" yang sering kali minim konteks.

Budaya ini berisiko menumpulkan daya pikir kritis. Generasi muda menjadi lebih sering reaktif ketimbang reflektif; lebih sibuk mengejar impresi ketimbang substansi.

Mengapa Perlu Critical & Creative Thinking?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun