Berbagai pertimbangan hingga kemudian kami sekeluarga memutuskan untuk tidak mudik ke kampung halaman, tapi memilih berkumpul dengan keluarga di perantauan dan merayakan lebaran bersama.
Keputusan ini, tentu bukan hal yang lazim di kalangan keluarga kami. Pulang mudik lebaran, selama ini menjadi satu keharusan. Bukan lagi tradisi sebagai ritual yang rutinitas setiap tahun. Tapi apapun alasannya, selalu ada cara agar bisa mudik.
Sekedar informasi, saya perantau asal Kota Makassar, Sulawesi Selatan sudah merantau ke Jakarta sejak bujangan. Tepatnya sejak tahun 1980-an sudah "menginjak" tanah Jakarta yang Kota Metropolitan, sebagai daya tarik anak daerah seperti saya.
Tahun 1987 di saat masih hidup sebagai "kontraktor" di Jakarta -- maksudnya ngontrak rumah ke sana ngontrak ke sini alias kos-kosan -- memberanikan diri pulang kampung untuk menikah. Setelah duduk bersanding malam harinya, esoknya langsung boyong istri ke Jakarta.
Lebaran Dengan Kumpul KeluargaÂ
Apa itu lebaran minimalis? Secara teori adalah konsep merayakan hari raya Idul Fitri dengan cara yang lebih sederhana, tidak berlebihan, dan lebih fokus pada makna dan esensi hari raya itu sendiri.
Tapi bagi keluarga kami, lebaran minimalis itu sekaligus mudik minimalis  seperti yang saya uraikan diawal tulisan ini. Yakni mudik dengan kapal laut, yang harga tiketnya lebih terjangkau dari pada harga tiket jika memiliki naik pesawat terbang.
Selain itu, lebaran minimalis juga berarti memutuskan untuk "tidak mudik ke kampung halaman, tapi memilih berkumpul dengan keluarga di perantauan dan merayakan lebaran bersama".
Padahal biasanya, seminggu sebelum masuk bulan Ramadan sudah kami programkan untuk mudik lebih awal. Atau minimal sehari sebelum lebaran, tepatnya puasa terakhir dan malam takbiran sudah tiba di kampung.
Tujuannya biar kami bisa merasakan sahur, berpuasa, salat Tarawih, berlebaran dan salat Idul Fitri bersama keluarga di kampung. Kumpul dengan teman-teman lama, sekedar bernostalgia mengenang masa lalu.