Mudik Ramadan dengan naik kereta ke kampung halaman? Tentu akan menyenangkan dan berkesan. Ini karena kita bisa bebas melihat pemandangan dari jendela kerera selama perjalanan.
Itu kalau mudik ke kampung halaman yang daerahnya dilalui jalur kereta. Lalu bagaimana dengan mereka yang mudik, tapi hanya ada jalur bus, kapal laut atau pesawat? Tentu nuansa mudiknya berbeda.
Kereta Jalur Jakarta-Makassar
Nah seperti saya sendiri misalnya. Kalau mau mudik ke kampung halaman di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, apa bisa naik kereta? Sementara yang baru tersedia, hanya alat transportasi pesawat terbang dan kapal laut.
Kalau terpaksa harus menggunakan kereta milik PT Kereta Api Indonesia (KAI), bisa saja tapi dengan cara "ngeteng" alias gonta-ganti kendaraan. Misalnya jika mau mudik ke Makassar, maka dari Jakarta naik kereta ke Surabaya. Selanjutnya naik kapal laut ke Makassar.
Kenapa harus menggunakan kapal laut dari Surabaya ke Makassar, ya karena belum ada jalur kereta yang dibangun dari Surabaya ke Makassar. Yang ada baru pembangunan jalur kereta.
Memang perlu dibangun minimal jembatan Suramakas  alias Surabaya-Makassar, seperti layaknya jembatan Suramadu (Surabaya-Madura). Tapi apakah itu mungkin?Â
Mengingat jarak luas dan dalamnya lautan Surabaya-Makassar, tak seluas dan sedalam Surabaya Madura. Atau menggunakan kapal ferry dari Merak - Bakauheni yang menghubungkan daerah Provinsi Banten dan Provinsi Lampung? hehe..
Kembali ke angkutan mudik Ramadan dengan kereta. Jalur kereta Surabya-Makassar mustahil bisa dibangun karena jarak jauhnya kedua kota ini. Dengan kapal laut saja, membutuhkan waktu sehari berlayar dari Pelabuhan Tanjung Perak ke Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar.
Jalur kereta di Sulawesi Selatan memang sudah ada. Tapi sekarang baru dibangun jalur yang rencananya akan menghubungkan: mulai dari Kota Makassar melintasi Kabupaten Maros-Kabupaten Pangkep-Kabupaten Barru hingga ke Kota Pare-Pare tempat kelahiran Wakil Presiden BJ Habibie.
Jalur ini pun, belum seluruhnya rampung. Jalur kereta yang sekarang baru bisa dioperasikan dari stasiun di Kabupaten Maros melewati Kabupaten Pangkep hingga stasiun terakhir di Kabupaten Barru. Dari Makassar, masih  harus naik bus Trans Ma'minasata - semacam bus Transjakarta seperti yang ada di Jakarta.
Kenapa belum seluruh jalur kereta Makassar - Pare-Pare belum rampung seluruhnya? Kalau itu pertanyaannya, saya harus bisik-bisik. Ssst.....Banyak oknum pejabat -- dari panitia pembebasan lahan untuk jalur kereta ini -- terlibat kasus korupsi dan sekarang sudah "nyantri" di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Naik Kereta Ke Surabaya, Sudah Terasa Seperti Lagi MudikÂ
Seperti yang saya ungkapkan di atas, mudik Ramadan menggunakan kereta dari Jakarta ke Makassar, masih sesuatu yang mirip "orang mimpi di siang bolong". Tapi meski begitu, saya membayangkan orang mudik dengan kereta, seperti ketika pernah naik kereta dari Bekasi ke Surabaya.
Sekitar 7 bulan lalu, tepatnya November 2024 Saya menikmati perjalanan mengunakan kereta "Kertajaya" kelas bisnis. Pertimbangannya, ingin merasakan bagaimana serunya naik kereta di malam hari, disamping agar tidak terlambat tiba di Surabaya mengikuti satu acara kongres organisasi advokat.
Kami rombongan, bertiga dengan teman. Saya, Rizky dan Cholil. Tapi dua orang berangkat dari Stasiun Senen Jakarta Pusat, sementara saya naik dari Stasiun Bekasi sesuai domisili tempat tinggal. Tujuan akhir kami adalah Stasiun Pasar Turi, Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Dengan sistim pembelian tiket kereta yang lebih praktis seperti sekarang ini, tidaklah sulit. Apalagi Lansia (lanjut usia) seperti saya yang sudah berusia 65 tahun. Sungguh sangat terbantu dengan layanan aplikasi KAI Access yang telah memberikan potongan harga 20 persen untuk penumpang lanjut usia.Â
Dua teman saya sampai iri, sebab harga yang saya bayar untuk naik KA Kertajaya dapat potongan sebagai warga Lansia. "Enak dong jadi Lansia, dapat potongan harga. Berarti kalau nanti kita pulang dari Surabaya ke Jakarta, dapat potongan lagi dong..hehe...," kata Rizky.
Saat naik ke gerbong KA Kertajaya di Stasiun Bekasi, saya harus mencari dimana kursi yang diduduki oleh kedua teman tadi, yang ternyata berbeda gerbong. Maka komunikasipun dilakukan. Apalagi hari itu, penumpang di gerbong belum ramai jadi kami bisa pindah gerbong agar tidak terpisah.
Suasana dalam gerbong, terasa nyaman. Bersih dan rapi, kursinya empuk dan lega. Menurut Rizky, orang Minangkabau dan beristri orang Jawa, dia mengaku sudah terbiasa menggunakan kereta saat pulang ke kampung istrinya.
"Kalau kebetulan gak mudik ke Padang, saya pilih naik kereta ketika harus gantian mudik ke kampung istri di Jawa," kata Rizky. Saya yang orang Makassar, dan Cholil yang orang Gorontalo, hanya mengangguk-angguk.
Menurut Rizky, sejak Direktur PT KAI dijabat oleh Didiek Hartantyo, katanya, sangat terasa adanya upaya inovasi menjadikan PT KAI lebih maju. Misalnya kebersihan semua kereta api selalu terjaga, dan menu-menu makanan dari restorasi kereta api juga bervariasi.Â
"Saya paling suka menu nasi goreng. Harga makanan dan minuman restorasi juga masih terjangkau kelas menengah," kata saya.Â
Rizky menimpali. "Saya juga kalau disiapkan menu nasi Padang di kereta, saya pilih rendangnya. Pasti kalau disuruh milih, Pak Nur juga maunya Coto Makassar atau Sop Konro ya," ledeknya. Kami pun bertiga tertawa.
Dengan situasi seperti ini, sepanjang perjalanan, kami bertiga bisa tidur nyenyak berkat suasana yang tenang dan nyaman. Jarak antara kursi duduk cukup lega sehingga kaki kita bisa diluruskan di tempat kaki.Â
Ada fasilitas meja lipat yang bisa dibuka untuk alas makan. Tersedia juga colokan listrik untuk charger telepon genggam dan laptop. Semua fasilitas lengkap untuk orang berpergian.
Kebisingan mesin kereta pun tidak terlalu mengganggu, sehingga saya bisa benar-benar beristirahat dengan baik. Staf kereta dan pramugari juga ramah dan sigap membantu jika penumpang memerlukan sesuatu.
Sebelum naik KA Kertajaya ini, beberapa kali juga saya naik kereta ke Solo, Jogya, Bandung untuk satu perjalanan dinas. Sangat jauh berbeda ketika jaman "beheula". Saya pernah merasa cukup menderita naik kereta ketika mengejar waktu dari Jakarta ke Surabaya untuk satu acara.
Saat berangkat dari Stasiun Jakarta Kota dengan kereta kelas bisnis, memang perjalanan seperti layaknya kalangan "bisnisman". Padahal pilihan kereta ini sebenarnya terpaksa karena hanya sampai di Semarang sebagai stasiun akhir.Â
Sementara tujuan utamanya ke Surabaya, tepatnya acara di Pelabuhan Tanjung Perak. Namun hanya inilah yang tersedia, mau tidak mau, ya dari Jakarta ke Semarang. Dari Semarang rencananya baru nanti akan lanjutkan perjalanan ke Pasar Turi Surabaya.
Yang terjadi, di luar rencana. Dari Semarang ke Surabaya hanya ada kereta kelas ekonomi. Saat itu, banyak orang yang tidak beli tiket, tapi hanya bayar langsung kepada oknum petugas di atas kereta yang sedang mengecek setiap penumpang di masing-masing gerbong.
Begitu pula yang saya lakukan. Saya bayar ke oknum tersebut tanpa karcis. Ini karena pertimbangan esok pagi harus tiba di Surabaya, maka apa pun kondisi di atas kereta harus diterima dan dijalani.Â
Asal tahu saja, dari Semarang ke Surabaya saya hanya bisa jongkok di lantai karena gerbong penuh penumpang. Tiba di Stasiun Pasar Turi Surabaya, kaki rasanya kaku dan tidak bisa berdiri. Keram..hahaha..
Demikian pengalaman saya naiklk kereta, semoga bermanfaat. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI