ADA yang baru di Museum Wayang, Jakarta. Pengunjung bisa menyaksikan pagelaran wayang dengan gaya modern, wayang 3 dimensi. Pokoknya asyik punya. "Memang Pak Nur bisa mengerti jalan cerita wayang? Pak Nur kan orang seberang, dari Makassar Sulawesi Selatan?," goda seorang teman. Hahahaha....saya cuma tertawa. Mereka lupa, bahwa nonton wayang 3 dimensi di Museum Wayang disajikan secara "nasional", bukan pola pagelaran seperti biasa yang dalangnya menggunakan bahasa daerah (Jawa). "Ya ngertilah, wong dalangnya memakai bahasa Makassar...," balas saya tak mau kalah, tentu sambil bercanda juga, hehehe.... Saya langsung ingat cerita teman, orang sumatera, yang selalu jalan bareng di Jakarta. Dulu, katanya, pernah kejadian, orang Jawa mementaskan pagelaran wayang kulit di pemukiman transmigrasi yang umumnya memang berasal dari Pulau Jawa. Kebetulan orang daerah setempat di lokasi transmigran (orang Sumatera) ikut menonton pagelaran wayang. Secara tidak sengaja, sang dalang keliru menceritakan lakon wayangnya. Gatot Kaca yang seharus terbang, eh ini malah diceritakan masuk ke dasar bumi. Padahal sesuai pakemnya, yang masuk ke dalam perut bumi itu, bukan Gatot Kaca (Gatot Koco?) melainkan si....... (kalau nggak salah ya, Antareja?? Siapa gitu namanya...maklum yang menulis artikel ini orang seberang, Makassar hehe..). Saat itulah adalah penonton orang Jawa protes ke sang dalang. Dasar sang dalang tidak mau kalah, sambil bergaya dalang yang sedang asyik bercerita, dia bilang, "Heiiiii wong Jowo, menneng wae, wong Sumatera ora ngerti karo cerita wayang.." Tok....tok....tok....sambil menggedor-gedor kotak yang digunakan mendalang. Terjemahannya kira2 begini, "..Heii orang Jawa tenang saja, orang Sumatera mana tahu cerita wayang.." Benar gak sih cerita itu? Akh sudahlah .... kita kembali ke cerita awal soal wayang 3 dimensi ini. Kata orang museum Wayang, ternyata sudah sejak tahun lalu, telah diproduksi pergelaran wayang animasi dengan audio visual tiga dimensi. Kalau yang lalu ada pengenalan tokoh tokoh wayang Mahabarata seperti Arjuna, Bima, Anoman, Adipati Karna, dan Srikandi dengan melalui layar televisi, nantinya film animasi itu ditayangkan dengan layar lebar. “Sekarang tinggal finishing. Diharapkan pertenganan bulan Januari 2012 ini dapat dinikmati. Tetapi untuk melihatnya harus dengan kacamata tiga dimensi,” lanjut Dachlan, kepala Museum Wayang. Kemajuan dari film wayang animasi terdahulu, yang sekarang ada ceritanya sesuai pakem yaitu Arjuna Wiwaha dan Karna Tanding. Kreatornya komunitas dari Yogyakarta yang memenangkan tender pengadaan film animasi tersebut. Biaya yang dipatok dengan APBD 2011 sekitar Rp 700 juta untuk dua judul. Tentu saja ini merupakan atraksi yang informative di samping pergelaran wayang setiap hari Sabtu dan Minggu. Sebagai tempat wisata edukasi dan budaya, Museum Wayang juga menyelenggarakan workshop pembuatan wayang karton, maupun wayang mainan dari rumput serta mewarnai wayang kulit untuk pelajar pelajar SLTA, SMP sampai SD. Terkadang juga didemonstrasikan pembuatan wayang golek. Bahkan diberikan kesempatan kepada pelajar yang datang berrombongan untuk belajar menjadi niyaga atau penabuh gamelan.