Saya berasal dari Pantura Jawa Barat. Istri adalah asli mojang Parahyangan. Keduanya berbahasa ibu sama yakni bahasa Sunda. Dua anak pertama kami awalnya memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di rumah. Hal ini dipengaruhi oleh tren keluarga muda yang cenderung mengadopsi bahasa nasional sebagai pengantar sehari-hari dengan anak-anaknya. Keponakan dalam keluarga besar kami juga berpengantar bahasa nasional, turut mempengaruhi pemilihan bahasa ibu bagi putra-putri kami. Selain dipandang sebagian kalangan memiliki prestise dalam pergaulan, umumnya keengganan mengajarkan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar di rumah lebih dihantui ketakutan salah dalam menerapkan undak-usuk bahasa Sunda sesuai peruntukannya (kosakata bagi orang pertama, orang kedua, orang lebih tua, dan lain-lain). Sementara anak ketiga diberi pengantar bahasa Sunda. Hal ini didasari dengan mulai tumbuhan kesadaran mengenai bahasa ibu tatkala saya studi di jurusan bahasa (bahasa Indonesia). Sejumlah kosakata bahasa Sunda pun diperolehnya. Sang anak pun sudah terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Sunda di rumah. Dwibahasa Pada akhirnya, ketiganya menjadi dwibahasawan.  Bagi anak kelompok pertama, mereka berbahasa Indonesia lebih dahulu, namun pada akhirnya mengenal bahasa daerah dari pergaulan sehari-hari baik dari sebaya maupun di rumah. Umumnya, bahasa itu merupakan bahasa loma (akrab) cenderung agak kasar. Perlahan, komunikasi di rumah pun akhirnya lebih terbuka menggunakan bahasa Sunda sebagai komunikasi selanjutnya. Di sini peran orang tua cukup besar dalam mengenalkan dan memberi arahan pemakaian bahasa daerah, sehingga pemilihan kosakata dapat diarahkan secara tepat. Kami menyarankan kosakata umum dapat dicari padanannya, seperti: agar kata makan dengan kata neda (untuk pribadi) dan tuang (untuk orang lain). Begitu juga kata mau pergi dengan frasa bade mios. Sebagai penutur bahasa Sunda, penggunaan bahasa Sunda menggunakan kosakata halus sesuai tempatnya oleh anak-anak kami memiliki nilai dan rasa bahasa berbeda yang jauh lebih enak terdengar di telinga.   Meskipun agak terlambat, namun pada akhirnya anak bisa menerapkan bahasa Sunda secara terbatas. Anak-anak kelompok ini tumbuh menjadi generasi bilingual. Kelompok kedua pun menjadi generasi bilingual cuma prosesnya kebalikannya dengan kelompok anak pertama. Anak kedua dibesarkan murni dalam bahasa Sunda, tetapi pengaruh sekelilingnya membuat kosakata bahasa anak pun bercampur baur dengan bahasa Indonesia. Pengaruh acara  televisi cukup ampuh sebagai belia dalam pemerolehan bahasa kedua bagi anak di rumah. Plesetan-plesetan iklan berbahasa Indonesia mudah diingat anak. Begitupula lagu-lagu anak-anak atau biasa dinyanyikan artis populer mudah diadopsi anak dan tak heran dalam usia dua tahun pun anak sudah menjadi generasi bilingual. Namun ada perbedaan, kelompok anak diberi pengantar bahasa ibu bahasa daerah di rumah, di samping sedang mengalami masa usia lucu-lucunya, ia bisa berkomunikasi dengan bahasa Sunda yang halus sesuai usianya, semakin lucu. Dalam usia dua setengah tahun, terbiasa menjawab dan mempraktikan kosakata : kulan (ya), muhun (ya), meser (membeli), bade ka mana (mau ke mana), hoyong pipis (mau buang air kecil), emam (makan), eueut (minum), mamah ati-ati (mamah hati-hati), ameng ka bumi aica (main ke rumah aisyah) dengan lentong (intonasi) Sunda yang khas sehingga membuat semakin gemas saja. Anak diberikan bahasa ibu bahasa daerah seperti halnya bahasa orang tuanya sendiri cenderung menguasai kosa kata lebih banyak, memahami makna lingkungan sekeliling dan perangainya cenderung lebih santun (ditinjau kalimat, intonasi, nada, mimik) terutama dalam bertegur sapa. Generasi bilingual bahkan multilingual, secara niscaya bakal ditempuh di lembaga sekolah selanjutnya. Penguasaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, memiliki makna strategis. Selain turut memelihara kelangsungan bahasa tsb, kini diyakini oleh para ahli dapat membekali anak lebih mudah dalam belajar bahasa lain dan pengetahuan selanjutnya. Lebih lengkap Pada anak menguasai bahasa ibu lebih awal cenderung memiliki kosakata lebih lengkap seperti: emam, neda, tuang, dahar dibanding yang dibesarkan dalam bahasa nasional hanya mengenal kosakata yang sama yakni kata makan. Kedua anak dikenalkan dalam lingkungan alami akan menguasai kosakata lebih kumplit dan detail, yakni mengenal macam-macam nama jenis bunga (melati, ros, keretas, dahlia, bakung, dsb), jenis rumput dan semak (teki, kakawatan, ali musa, jarong, kaliandra, cucukgarut, dsb), jenis serangga (kukupu, bangbung, kungkang, papanting, dsb), nama pohon mangga (simanalagi, cengkir, harumanis, golek, dan lain-lain), di mana anak sekarang cenderung menamai kelompok tumbuhan dengan istilah pohon saja. Sementara pada anak diberi pengantar bahasa Inggris sejak kecil, hampir dipastikan akan kehilangan sejumlah kosakata lokal, seperti: bulir padi, tanaman padi, menir, beras, nasi, karena kosa kata bahasa Inggris mengenal istilah semua itu ke dalam satu istilah 'rice' saja.  Kondisi sosial-budaya yang berbeda, membuat bangsa Inggris tidak mengenal variasi kosakata tersebut. Hal ini dapat diambil pesan bahwa bahasa daerah bagi orang tua berpenutur bahasa tsb memiliki sejumlah kearifan (kosa katanya lebih lengkap, lebih bisa menjelaskan kondisi sekeliling, dan aspek kesantunan lebih tinggi) efektif memberi nilai-nilai peletak dasar bagi seorang individu sebelum pada akhirnya tumbuh menjadi generasi bilingual. Pentingnya pemeliharaan dan penggunaan bahasa ibu telah dicanangkan oleh UNESCO dengan menetapkan tanggal 21 Februari sebagai bahasa ibu internasional sebagai renungan bagi bangsa-bangsa di dunia untuk konsens memelihara bahasa ibu semakin hari semakin menipis jumlah penuturnya. [**]