Mohon tunggu...
Cynthia Anggelyn
Cynthia Anggelyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Statistika Universitas Airlangga

book and movie

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toxic Masculinity: Laki-Laki Juga Korban

7 Juni 2022   09:30 Diperbarui: 7 Juni 2022   09:42 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa tingkat bunuh diri yang dilakukan oleh laki-laki lebih tinggi daripada yang dilakukan perempuan. Seperti data dari World Health Organization (WHO) yang menyebutkan bahwa 80% laki-laki melakukan bunuh diri dari total seluruh kasus bunuh diri di Amerika. 

Di Indonesia sendiri, Tercatat, tingkat bunuh diri laki-laki di Indonesia pada 2019 lebih tinggi ketimbang perempuan yakni sebesar 3,7 per 100 ribu penduduk. Sementara tingkat bunuh diri perempuan pada tahun yang sama sebesar 1,1 per 100 ribu penduduk.

Hal ini tentunya menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa angka bunuh diri laki-laki bisa lebih tinggi perempuan? Bunuh diri tentunya bisa dilakukan oleh siapa saja, baik itu laki-laki maupun perempuan, namun pada laki-laki bunuh diri lebih berisiko terjadi umumnya karena perasaan tidak mampu untuk menjalankan peran sosial sebagai "laki-laki". 

Toxic Masculinity

Budaya patriarki yang masih kental tertanam dalam masyarakat pada akhirnya melahirkan toxic masculinity (maskulinitas beracun). Toxic masculinity merupakan istilah yang digunakan untuk  menggambarkan pembatasan perilaku berdasaran peran gender yang kaku, untuk memperkuat struktur kekuasaan yang berdominasi pada laki-laki. 

Secara singkat, toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai  pemikiran sempit  terkait dengan peran gender dan sifat laki-laki yang kaku, cenderung melebih-lebihkan standar maskulinitas pada laki-laki. 

Dalam toxic masculinity laki-laki diberi anggapan sebagai sosok yang kuat, dominan, memiliki kuasa yang lebih atas perempuan, dan tidak boleh menunjukkan emosi yang dianggap lemah. 

Keharusan dalam memiliki sifat-sifat maskulinitas  tersebut dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan dengan perkataan seperti ini "laki-laki kok nangis?", "Jadi laki-laki kok gak bisa apa-apa" "Kamu kan laki-laki! Harusnya bisa dong,", dan masih banyak ucapan lainnya.

Akibat dari adanya toxic masculinity, dalam kehidupan bermasyarakat laki-laki jarang memiliki kesempatan untuk dapat mengutarakan perasaan mereka. Laki-laki akan dianggap lemah jika mereka banyak bercerita bahkan sampai menangis. 

Hal tersebut akhirnya menyebabkan laki-laki cenderung untuk menyimpan sendiri kesedihan dan kegelisahan yang ia miliki karena takut terlihat lemah di depan orang lain. Kesedihan dan kegelisahan ini pada akhirnya akan terus-menerus menumpuk dan menimbulkan keputusasaan yang memicu perilaku bunuh diri akibat tidak kuat lagi menahan.

Melawan Toxic Masculinity

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun