Pada awal januari 2024, tepatnya di kabupaten Merauke terjadinya kelumpuhan akses Komunikasi yang disebabkan oleh putusnya kabel laut SMPCS ( Sylawesi Maluku Papua Cable System). Gangguan ini menghentikan layanan internet 4G Telkomsel dan Indihome, sehingga menimbulkan kekhawatiran Masyarakat yang berujung pada aksi demonstrasi. Insiden ini memicu krisis kepercayaan publik terhadap PT. Telkom sebagai penyedia layanan telekomunikasi terbesar di Indonesia
Isu ini penting untuk diangkat karena dalam era digital saat ini, kstabilan layanan komunikasi menjadi pilar utama bagi berbagai sektor esensial Pendidikan, ekonomi, pelayanan public dan bahkan politik. Maka Ketika komunikasi terganggu bukan hanya produksi yang terhenti tetapi juga legalitas instisusi yang tidak stabil.
Krisis jaringan yang menimpa Merauke adalah contoh nayata bagaimana sebuah gangguan teknis berkembang menjadi krisis reputasi yang rumit. Penanganan krisis oleh PT. Telkom menunjukakkan pentingnya komunikasi dalam manajemen krisis. Namun jika tidak diatasi dengan baik, persepsi publik bisa berubah menjadi negative jika respons Perusahaan dianggap lambat atau tidak transparan. Sayangnya, dengan kritik publik yang meluas dengan ketidakpuasan Masyarakat Merayke terhadap respon pihak Telkom yang dinilai tidak transparan memicu spekulasi liar bahkan menyoroti isu diskriminasi oleh Masyarakat asli papua. Hal ini menunujukkan bahwa komunikasi krisis yang tidak baik akan menciptakan opini yang dapat memperburuk reputasi sebuah Lembaga atau Perusahaan.
Dalam teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh Timothy Coombs, bahwa respon krisis yang efektif sangat berpengaruh terhadap persepsi public mengenai pihak yang bertanggung jawab. Dalam kasus Merauke, dengan putusnya kabel laut sebagai penyebab, publik kemungkinan besar akan menyalahkan pihak luar, namun respon Perusahaan seperti kecepatan perbaikan dan transparansi informasi akan sangat mempengaruhi persepsi publik terhadap integritas dan responsivitas Telkom. Kekecewaan Masyarakat Merauke yang diekspresikan melalui aksi unjuk rasa oleh Masyarakat dan jurnalis, menunjukkan bahwa respon awal Telkom dianggap tidak transparan, seperti yang diungkapkan dalam artikel "Strategi Komunikasi Krisis Telkom dalam Mmepertahankan Reputasi Perusahaan Akibat Gangguan Jaringan Internet di Kabupaten Merauke" (Sari, Bakti, dan Perbawasari,2025)
Kerugian yang dialami oleh mereka yang berbisnis online dan harapan agar jaringan membaik sebelum pemilu 14 Februari 2024 menunjukkan pentingnya internet bagi kehidupan sehari-hari dan agenda Nasional.
Namun setelah itu PT. Telkom menerapkan pendekatan gabungan antara teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT ) dan Image Restoration Theory (IRT). Strategi corrective action diterapkan melalui program prorate (pengurangan biaya layanan) dan klarifikasi resmi terhadap berita hoaks. Selain itu, Telkom melakukan cultural-based communication dengan berdialog langsung bersama kepala suku Marin di Merauk, ini adalah langkah yang sangat tepat mengingat pentingnya sensitivitas budaya dalam krisis berbasis lokal.
Respons cepat juga dilakukan melalui aktivasi crisis center, komunikasi langsung dengan pemerintah daerah dan media, serta penyebaran informasi visual proses perbaikan sebagai bentuk transparansi. Dalam komunikasi organisasi atau perusahaan, langkah ini mencerminkan prinsip situated communication, di mana strategi harus disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya lokal. Klarifikasi Telkom mengenai berita "HOAX" gangguan jaringan yang akan terjadi lagi adalah Langkah positif dalam mengelola disinformasi, namun Upaya ini harus diimbangi dengan informasi yang akurat dan terkini mengenai progres perbaikan.
krisis jaringan yang terjadi di Merauke menjadi pelajaran penting bagi PT Telkom atau perusaahan lainnya dalam menghadapi krisis , bukan hanya dalam hal keandalan infrastruktur, tetapi juga dalam kemampuan perusahaan mengelola komunikasi pada saat krisis. Reputasi sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kualitas layanan yang diberikan, tetapi juga oleh seberapa baik perusahaan tersebut merespons situasi sulit dan menjalin komunikasi yang empatik dengan publik.Â
Dalam menghadapi situasi ini, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan oleh PT Telkom agar dapat meningkatkan manajemen krisis di masa depan, yaitu seperti Telkom perlu meningkatkan transparansi komunikasi kepada masyarakat, dengan memberikan pembaruan informasi secara berkala dan realistis melalui saluran komunikasi yang mudah dijangkau. Kemudian perusahaan harus menentukan strategi mitigasi jangka panjang, seperti diversifikasi jalur kabel laut atau teknologi cadangan untuk daerah rentan. Juga dengan program kompensasi atau bentuk apresiasi kepada pelanggan yang terdampak perlu dipertimbangkan sebagai langkah untuk membangun kembali kepercayaan, Telkom dapat menjalin dialog terbuka dengan komunitas lokal untuk dapat menyerap langsung keluhan dan masukan masyarakat. Terakhir, Telkom disarankan untuk memanfaatkan pendekatan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dalam menyusun strategi komunikasi yang tepat sesuai dengan tingkat atribusi publik terhadap tanggung jawab perusahaan.
PT Telkom tidak hanya dapat memperbaiki respons terhadap krisis serupa di masa depan, tetapi juga memperkuat reputasinya sebagai perusahaan yang tanggap dan peduli terhadap pelanggan.
Krisis teknis dapat dimaafkan, tetapi krisis kepercayaan publik tidak mudah dipulihkan. PT Telkom menunjukkan bahwa keberhasilan penanganan krisis bukan hanya terletak pada seberapa cepat kabel bisa disambung kembali, tetapi juga pada seberapa efektif organisasi membangun dialog, menjawab keresahan, dan merawat harapan publik.