Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keteladanan;Sebuah Kritik Kepada Orang Tua

3 Juli 2014   18:48 Diperbarui: 14 Juni 2016   11:50 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : www.slideshare.net

Ada adigium yang menyatakan bahwa anak adalah buah hati belahan jantung. Karena ia adalah belahan jantung, maka yang terjadi biasanya orang tua akan melakukan segala upaya untuk memenuhi kebutuhan dan melindunginya dari segala ancaman serta bahaya. Kita semua mafhum bahwa baik memenuhi atau melindungi anak, selain merupakan naluri yang dimiliki oleh orang tua, pada dasarnya hal tersebut merupakan hak yang melekat pada setiap orang tua. Dan, tidaklah dapat dipungkiri bahwabiasanya anak memang selalu bisa membuat gemas, ingin memeluk, mencubit, mencium dan bermain bersama. Namun demikian, ada kalanya di waktu lain, tidak jarang anak juga dapat menjadi pemicu jengkel karena tingkah polahnya.

Anak tetaplah anak, yang memiliki dunianya sendiri yaitu dunia penuh dengan bermain, namun anak bukanlah mainan yang dapat dibekali dengan buku panduan untuk mengoperasikannya. Dan, menjadi orang tua yang berperan sebagai pendidik bukanlah perkara mudah selayaknya membalikkan telapak tangan karena menjadi orang tua tidak ada tempat sekolahnya, maka dari itu belajar dan terus belajar terus menerus tanpa mengenal waktu tidak ada batasan tertentu.

Terkadang orang tua merasa paling benar dan paling bisa dalam mendidik anak. Namun sebaliknya, sangatlah dimungkinkan cara mendidik dengan gaya tersebut bisa merupakan cara yang kurang tepat dalam mendidik anak. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua? Ada beberapa catatan yang perlu saya sampaikan dalam tulisan ini perihal mendidik anak dengan setara, menghindarkan dari kekerasan dan meneladankan sikap serta perilaku positif.

Pertama, konsisten. Orang tua, terkadang menganggap anak sebagai “properti” yang harus dipoles sedemikian rupa tanpa mengindahkan dampak psikis dan sosial anak dangan nasehat-nasehat yang sebenarnya tidak diperlukan oleh anak. Kita tahu, bahwa konsekuensi merupakan sesuatu yang harus dibekalkan terhadap anak, artinya antara orang tua dan anak perlu membuat kesepakatan bersama dengan setara. Apabila anak atau orang tua melakukan tindakan diluar kesepakatan maka keduanya harus mendapatkan “konsekuensi” dari tindakan tersebut. Tidak sebaliknya anak melanggar mendapat sangsi, namun apabila orang tua melanggar bebas dari sangsi. Oleh karena itu menurut hemat saya tidak ada salahnya antara anak dan orang tua membuat daftar kegiatan sehari-hari kemudian dengan cara musyawarah dibuatlah kesepakatan mengenai konsekuensi apa apabila tidak menjalankan kegiatan tersebut. Rasanya tidak elok orang tua berbeda pendapat tentang konsekuensi kepada anak, karena apabila hal tersebut terjadi biasanya dapat menjadi permasalahan baru.

Kedua, menghabiskan waktu bersama anak dan keluarga. Inilah sesungguhnya suasana “intim” dan menyenangkan antara orang tua bersama anak. Selain dapat merekatkan emosi batiniyah orang tua dan anak, hal ini bisa menjadi semacam alternatif bahwa waktu bersama anak atau keluarga tidak harus selalu bepergian ke tempat yang jauh, kita orang tua dapat memanfaatkan mainan atau ruangan yang dimiliki meskipun hanya untuk mengobrol dan bercanda bersama anak.

Ketiga, sebaiknya tidak sering menawarkan bantuan kepada anak. Ada sebagian orang tua yang masih beranggapan bahwa anak adalah anak yang belum bisa malakukan aktivitas sendiri atau lebih dari itu tidak jarang orang tua menganggap bahwa anak belum bisa melakukan apa-apa karena dianggap masih belum berpengalaman dalam hidup. Boleh saja orang tua membantu anak, namun posisinya bukanlah sebagai pemberi solusi namun sebaliknya orang tua adalah sebagai teman bicara dan diskusi manakala anak tengah mengalami kesulitan atau dalam bahasa lain, orang tua berperan sebagai fasilitator dan klarifikator yang akan berbagi pengalaman hidup yang pernah dijalani serta mengklarifikasi hal-hal yang masih dianggap belum jelas oleh anak. Sebenarnya tidak salahnya orang tua menawarkan bantuan kepada anak, namun yang perlu menjadi catatan adalah hal tersebut dapat menjadikan anak berpikir bahwa anak tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan dari orang tua. Memberikan kepercayaan, dapat dimaknai oleh anak sebagai motivasi dan dorongan semangat.

Keempat,menghargai karya anak. Inilah salah satu tindakan orang tua yang terkadang luput diperhatikan. Biar bagaimanapun, anak perlu mendapatkan penghargaan atas apa yang dikerjakan. Bentuk penghargaan tidak harus selalu berupa barang atau materi, namun dapat berupa pujian yang membangkitkan nilai-nilai kepercayaan diri anak meningkat. Dengan begitu, biasanya anak merasa diperhatikan dan dihargai oleh orang terdekatnya yaitu orang tuanya.

Kelima, memahami sifat dan karakter anak. Inilah sesungguhnya momen paling krusial orang tua dalam mendidik anak. Kebanyakan orang tua menganggap “sepele” permasalahan ini. Sesungguhnya setiap anak dilahirkan sama di dunia ini, hanya saja perlakuan dan konstruksi sosial yang selama ini diterima dapat menjadi pemicu adanya pembedaan dalam perlakuan. Anak laki-laki masih dianggap sebagai anak unggul dan nomor satu sedangkan anak berjenis kelamin perempuan dianggap sebagai “konco wingking” oleh sebagian besar orang tua, maka dari dari itu anak perempuan dianggap tidak masalah apabila mendapatkan perlakuan yang relatif stereotypedan inferior. Pembedaan perlakuan yang cenderung diskriminatif karena masih melihat berdasar jenis kelamin dapat menimbulkan kecenderungan munculnya resiko kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anaknya baik secara fisik, psikis maupun sosial.

Akhirnya, melalui tulisan ini saya berharap bahwa orang tua perlu merubah pandangan yang selama ini melekat dan diyakini kebenarannya, yang secara mutlak tidak boleh diganggu gugat atau bahkan dirubah. Melihat anak perlu menggunakan pandangan yang beragam, tidak hanya satu sisi saja yaitu sisi orang tua karena dapat menimbulkan pandangan yang kurang objektif dalam mensikapi perilaku anak, lebih dari itu sesungguhnya dikhawatirkan orang tua dapat menjadi pelaku kekerasan terhadap anak. Wallahu a’lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun