Mohon tunggu...
Giska Ayu Puspitasari
Giska Ayu Puspitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya orang yang penasaran dan senang belajar hal baru. Di Kompasiana, saya ingin berbagi hasil pemikiran dan pengalaman dari berbagai topik yang menarik.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Melawan Arus atau Berlayar Bersama: UMKM di Tengah Gelombang Transformasi Digital

22 Mei 2025   06:40 Diperbarui: 22 Mei 2025   06:57 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Transformasi Digital UMKM

Era digital telah mengubah cara hidup kita secara menyeluruh termasuk bagaimana kita membeli, menjual, dan berinteraksi dalam dunia bisnis. Kini, orang-orang lebih suka belanja dari rumah, menggunakan aplikasi, membaca ulasan digital, dan membayar hanya dengan satu sentuhan layar. Perubahan ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tapi perlahan menyusup ke pelosok-pelosok negeri, menjangkau semua lini kehidupan. Dan di tengah arus besar ini, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berada dalam tekanan yang belum pernah sebesar ini.

Bayangkan seorang pemilik toko kelontong di pinggir kota. Selama bertahun-tahun, ia mengandalkan pelanggan setia, pencatatan manual, dan promosi dari mulut ke mulut (Word of Mouth/WOM). Namun, tiba-tiba jumlah pembelinya mulai menurun. Bukan karena mereka pindah rumah, melainkan karena mereka kini lebih sering berbelanja melalui aplikasi daring. Sementara itu, muncul pesaing baru bukan di pasar tradisional, melainkan di layar ponsel yang menawarkan pengalaman berbelanja yang lebih cepat, lebih murah, dan jauh lebih praktis. Inilah potret nyata yang dihadapi banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di tengah gelombang transformasi digital.

Era digital tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga secara mendasar mengubah pola bisnis dan perilaku konsumen. Kini, konsumen lebih mengutamakan kenyamanan: mereka bisa berbelanja tanpa harus keluar rumah, melakukan pembayaran tanpa uang tunai (cashless payment), serta membandingkan harga dan produk hanya dalam hitungan detik melalui layar gawai mereka.

UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Mereka menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap hingga 97% tenaga kerja (ekon.go.id). Dari warung kopi pinggir jalan sampai toko online rumahan, UMKM hadir di setiap sudut kehidupan masyarakat. Namun, ketika konsumen mulai berpindah ke ruang digital, banyak pelaku UMKM yang merasa gamang: harus bertahan dengan cara lama, atau ikut berubah dan belajar sesuatu yang baru?

Sebagian memilih untuk bertahan. Mereka tetap menjalankan bisnis secara konvensional karena berbagai alasan takut akan biaya digitalisasi, tidak paham teknologi, atau merasa bahwa cara lama sudah cukup dan terbukti berhasil selama ini. Tapi pilihan ini sebenarnya adalah bentuk dari melawan arus. Mereka berpegang pada metode yang pernah relevan, namun kini perlahan mulai usang.

Dalam jangka pendek, mungkin tak terasa. Namun lama-lama, mereka mulai kehilangan pelanggan, kesulitan bersaing dalam harga dan kecepatan, serta tertinggal dalam hal akses pasar. Melawan arus memang tampak seperti pilihan yang aman. Tapi dalam dunia yang terus bergerak maju, diam di tempat artinya tertinggal. Ketika konsumen berpindah ke platform digital, mereka yang tidak ikut beradaptasi akan kehilangan relevansi. Peluang yang seharusnya bisa diraih justru lewat, dan UMKM pun berisiko semakin terpinggirkan.

Namun, tidak semua pelaku usaha memilih diam. Ada pula yang mulai membuka diri terhadap perubahan. Mereka belajar menggunakan media sosial untuk promosi, mendaftar di marketplace, menerima pembayaran digital, atau mencatat keuangan dengan aplikasi sederhana. Tidak semua perubahan itu besar. Bahkan, banyak yang memulainya dari langkah kecil. Tapi justru disanalah kuncinya: keberanian untuk mencoba dan beradaptasi.

Digitalisasi bukan soal menjadi modern semata, melainkan tentang menjadi relevan. UMKM yang mau "berlayar bersama" arus perubahan menemukan bahwa teknologi bisa menjadi sahabat, bukan musuh. Dengan masuk ke platform digital, mereka menjangkau
pelanggan lebih luas, mengefisienkan operasional, dan membuka akses ke pendanaan yang sebelumnya tertutup. Dunia digital memperkecil jarak antara usaha kecil dan besar. Yang membedakan hanyalah kesiapan untuk berubah.

Tentu, proses ini tidak harus dijalani sendiri. Pemerintah kini aktif menyediakan pelatihan dan program pendampingan. Platform digital terus menghadirkan fitur yang ramah UMKM. Lembaga keuangan mulai menggunakan data digital sebagai dasar penilaian kredit. Komunitas bisnis dan akademisi pun hadir sebagai ruang belajar dan berbagi. Semua ini menjadi bagian dari ekosistem yang mendorong UMKM agar
tidak sekadar bertahan, tapi benar-benar bertumbuh di era baru ini.

Pada akhirnya, UMKM Indonesia berada pada titik penentu. Pilihan antara melawan arus atau berlayar bersama bukan sekadar keputusan teknis, tapi menyangkut arah masa depan. Menolak berubah bisa berarti perlahan tergerus zaman. Tapi memilih untuk berubah meski dengan langkah kecil bisa membuka pintu menuju keberlanjutan dan daya saing jangka panjang.

Transformasi digital bukan hanya soal teknologi. Ini adalah soal pola pikir, keberanian untuk belajar, dan kesiapan untuk berkolaborasi. UMKM yang memilih untuk berlayar bersama, tidak hanya menjaga eksistensi, tapi juga mempersiapkan diri menjadi pilar yang lebih kokoh dalam perekonomian nasional di masa depan. Karena di dunia yang terus berubah, yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling siap beradaptasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun