Rakyat Indonesia dikejutkan dengan berita ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, oleh KPK di kediaman dinasnya di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan Rabu 2 Oktober 2013 sekitar pukul 22.00 WIB.
Gambar Depan Kantor MK{BANGKAPOS/CUI}
Kabar tertangkap tangganya Akil Mochtar mengejutkan kita semua. Selama ini, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah kurang percaya lagi kepada aparat dan institusi penegak hukum. Ketidakpercayaan masyarakat ini disebabkan oleh prilaku mereka sendiri yang kerap melanggar aturan. Petinggi kepolisian diadili karena melakukan korupsi. Demikian pula para penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim mulai dari tingkatan yang rendah hingga tertinggi, tidak sedikit yang tersandung kasus hukum khususnya korupsi.
Pada sisi lainnya penyelenggara negara seperti pejabat pemerintahan dan anggota dewan, tidak perlu dikaji lagi. Hampir setiap hari ada pejabat negara mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat yang diadili pengadilan karena mengemplang uang negara. Hal yang sama dilakukan anggota dewan mulai dari tingkat II hingga pusat.
Hanya dua lembaga negara yang selama ini dianggap masih memiliki kredibilitas dan diharapkan mampu menjaga ‘benteng’ keadilan di negara ini yang sudah tergerus yaitu, KPK dan MK. Tapi tidak dinyana, ternyata MK tidak mampu menjaga kepercayaan ini. Memang tidak semua hakim konstitusi berprilaku buruk, tapi setidaknya dengan tertangkapnya Akil Mochtar membuka mata kita semua, bahwa benteng keadilan di republik ini sudah bisa dikatakan hampir runtuh. Satu-satunya harapan hanya ada di pundak KPK.
Ketua MK Akil Mochtar(BANGKAPOS/CUI}
Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang mencengangkan banyak pihak. Tak lain Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta Bayu Segoro. "Pertama pastinya prihatin, apa kata dunia (penangkapan Akil)," kata Bayu setengah canda, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN, Rabu (7/10).
Dia merasa, hukum di Indonesia kini sudah tercoreng dengan adanya upaya Akil menerima suap terkait sengketa Pilkada. Ketika tataran hukum tertinggi di Indonesia saja korupsi, kepercayaan masyarakat terhadap keadilan kian rendah dan mengingatkan para penegak hukum untuk adil, tidak main-main dengan politik, apalagi dengan uang untuk sebuah kebenaran dan keadilan. Penangkapan Ketua MK, menurut Presiden, menjadi pelajaran bagi semua termasuk para hakim di manapun, untuk menghindarkan diri dari kepentingan politik.
Tertangkapnya Akil Mochtar sekaligus menjawab dugaan pengamat dan praktisi hukum tata negara Refly Harun, tiga tahun yang lalu. Refly Harun pada 25 Oktober 2010 pernah menulis di kolom opini Harian Kompas berjudul ‘MK Masih Bersih?’ Refly menulis opini tersebut bukan tanpa sebab dan musabab. Ia mendengar banyak laporan soal adanya ‘permainan’ dan ‘makelar’ di lembaga itu. Bukan itu saja, Refly mengatakan, ia pernah melihat uang Rp 1 miliar yang akan diserahkan seseorang pada salah satu hakim konstitusi.
Sayangnya Refly Harun tidak bisa menangkap tangan pemberian uang tersebut sebagaimana yang dilakukan KPK. Bahkan ketika Refly ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Internal MK, ia tak mampu membuktikan dugaannya tersebut kepada Ketua MK saat itu Mahfud MD. Memang mengungkap suap menyuap apalagi melibatkan oknum-oknum yang memang lihai bermain tidak mudah. Dibutuhkan hak-hak khusus seperti yang dimiliki KPK dengan menyadap telepon dan sebagainya, baru bisa membongkar perbuatan jahat itu.
Kenapa kemarin banyak yang ribut ketika Patrialis Akbar diangkat menjadi hakim konstitusi? Salah satu alasannya karena publik khawatir independensi lembaga ini akan tercemar oleh kepentingan politisi. Harus diingat mereka bisa masuk ke lembaga ini karena ada dukungan partai politik jadi tidak mungkin tanpa ada ‘balas jasa’. Akil sendiri dulunya seperti juga Patrialis merupakan anggota DPR. Akil dari Fraksi Partai Golkar. Harus diingat pula pemilihan kepala daerah (Pilkada) pasti melibatkan partai politik. Di sinilah independensi tersebut sulit untuk dipertahankan.
Tulisan ini diambil dari www.bangka.tribunnews.com