Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Biang Macet Kota Bogor

21 September 2014   14:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:03 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Kemacetan di Kota Bogor (Kompas.com)"][/caption]

Mengamati pro-kontra pelarangan mobil flat B berkunjung ke Kota Bogor, membuat saya ingin ikut beropini. Meski sudah meninggalkan Kota Bogor sejak empat tahun lalu, dan sudah berganti KTP kota lain, namun Bogor selalu menjadi kota istimewa di hati saya =D. Mungkin karena saya besar di kota tersebut dan masih memiliki keluarga, teman dan sahabat yang menetap di kota hujan itu.

Seperti yang sudah dibahas di berbagai media, memang tidak bijak rasanya menyalahkan mobil-mobil Jakarta sebagai biang kemacetan di Kota Bogor. Selain banyak juga warga Bogor yang memiliki flat mobil Jakarta – dulu orangtua saya salah satunya, warga Bogor juga sering bertandang ke Jakarta, baik untuk mencari sesuap nasi maupun untuk keperluan lain. Tidak adil rasanya membatasi ruang gerak sebuah mobil di wilayah yang masih termasuk NKRI, sementara si empunya mobil saja bebas tinggal dimana pun di seluruh wilayah Indonesia.

Seperti pepatah, ada gula, ada semut, biang kemacetan di Kota Bogor pasti ada asal muasalnya. Flat B memang menjadi salah satu penyebab kemacetan di Kota Bogor, namun menurut saya ada hal lain yang juga menjadi penyebab tidak lancarnya arus lalu lintas di Kota Bogor?

  • Bogor terlalu sesak dengan angkot – angkutan umum. Setiap titik di Kota Bogor, bisa dilewati tiga angkot sekaligus yang berbeda jurusan. Batu Tulis dan Bale kambang misalkan, dilewati angkot 04 jurusan Warung Nangka-Lawang Saketeng, 04A Jurusan Cihideung-Lawang saketeng, 02 Jurusan Sukasari-Bubulak. Mungkin ada baiknya dilakukan penataan angkot. Misalkan, angkot 04 dan 04A hanya boleh beroperasi hingga Batutulis. Penumpang yang ingin ke arah Kebun Raya atau Bogor Trade Mall dapat melanjutkan dengan naik angkot 02. Toh ada banyak juga penumpang yang malas melewati kemacetan di Lawang Saketeng, apalagi kalau si sopir udah nanya, “Turun dimana neng?” Mungkin supir itu udah tidak sabar ingin putar balik untuk menghadapi kemacetan terminal yang menurut saya bentuknya tidak seperti terminal. Pengurangan jarak trayek tersebut, diharapkan dapat mengurangi beban ruas-ruas jalan utama yang dilewati oleh angkot lain. Kan lumayan mengurangi kemacetan.
  • Ada petugas Dishub atau polisi yang berjaga sehingga tidak ada lagi angkot yang ngetem. Terkadang macet lama sekali, pas sudah melwati kemacetan tersebut ternyata penyebabnya hanya satu, angkot ngetem dan menghalangi jalan kendaraan lain. Biasanya hal tersebut terjadi di depan sekolah saat jam bubar anak sekolah/jam masuk, di depan pusat perbelanjaan, atau di depan komplek perumahan. Biasanya saat melihat orang lagi berjalan dari komplek perumahan ke jalan raya yang dilewati angkot tersebut, kita tidak menyetopun (bahkan tidak niat naik angkot itupun) si sopir angkot tanpa di komando sudah berhenti di depan kompleks rumah. Terkadang tidak masalah menunggu hingga beberapa menit. Terkadang bikin gedek penumpang juga, apalagi bila sudah buru-buru di kejar waktu.
  • Memperluas jalan. Jalan Batu Tulis, Cipaku, Cihideung, Sempur masih satu ruas untuk satu kendaraan. Sebaiknya mungkin di tambah ruas jalan. Namun sepertinya agak mustahil ya karena kanan kiri jalan sudah terisi bangunan, baik mall maupun rumah-rumah masyarakat. Mungkin solusinya petugas yang berkepentingan harus lebih awas agar tidak ada lagi angkot yang mengetem sembarangan dengan jangka waktu yang cukup lama. Angkot terkadang mengetem sangat lama, hingga seluruh bangku didalam angkot tersebut penuh diduduki penumpang. Empat tahun lalu, salah duanya di sebrang BTM dan supermarket Mawar, Merdeka.Petugas juga harus lebih awas memastikan tidak ada lagi yang parkir di ruas jalan utama. Dulu saat saya masih tinggal di Bogor, sering melihat kendaraan parkir sembarangan di Jl. Juanda meski sudah ada tanda dilarang berhenti/parkir.
  • Mungkin ada baiknya membuat shelter untuk angkot sehingga angkot tidak berhenti sembarangan, ya mungkin mirip-mirip shelter untuk Trans Pakuan – meski jaraknya jangan pula sejauh itu, kasihan nanti penumpangnya. Jangan lupa ada petugas yang mengatur di setiap shelter tersebut sehingga lebih teratur keluar-masuk angkot di shelter tersebut.
  • Salah satu hal yang berkontribusi menyebabkan kemacetan adalah beberapa tempat makan/toko tidak memiliki lokasi parkir sehingga kendaraan yang mampir ke tempat tersebut memarkirkan kendaraannya di bahu jalan. Salah satunya ada di jalan Suryakencana – banyak toko-toko kecil dan penjual makanan lezat yang tidak memiliki lahan parkir sendiri. Apalagi tempat makan tersebut kerap dikunjungi pengunjung yang tidak hanya berasal dari Bogor, namun juga dari luar kota, salah satunya dari Jakarta. Mungkin ada baiknya menyediakan satu lahan kosong untuk parkir.
  • Daripada menolak kedatangan mobil flat B, mungkin ada baiknya Kota Bogor justru mengurangi jumlah kendaraan pribadi maupun angkutan umum di Kota tersebut. Misalkan, satu KTP hanya boleh memiliki satu mobil dan satu motor, tidak lebih. Atau bisa dipikirkan alternatif lain. Saat hari-hari besar tertentu, misalkan menjelang puasa atau lebaran, meski tidak ada mobil flat Jakarta, di ruas jalan tertentu di Kota Bogor tetap macet parah - salah satunya di Empang. Hal tersebut dikarenakan terlalu banyak kendaraan yang berada di jalan untuk mengantarkan warga Bogor berbelanja kebutuhan pokok.
  • Mengkonversi angkot ke Trans Pakuan dan mempekerjakan supirnya sebagai supir Trans Pakuan. Tapi pasti diprotes besar-besaran. Dulu saja saat Trans Pakuan pertama diluncurkan harus melakukan sosialisasi berkali-kali dengan Organda dll dan harus menghadapi demo dari para supir angkot yang terdampak.
  • Ada beberapa restoran/tempat wisata yang dikunjungi banyak orang, namun berada di jalan yang sangat terbatas. Salah satunya Gumati Batu Tulis, jalan Cipaku sangat sempit benar-benar hanya cukup untuk dua angkot, itupun harus ekstra hati-hati agar tidak saling bergesekan. Mungkin ada baiknya dipikirkan arus lalu lintasnya seperti apa.
  • Selain terlalu banyak angkot, kemacetan di Kota Bogor juga sepertinya dipicu terlalu banyak mall dan restoran/tempat makan. Namun itu juga yang menjadi daya tarik Kota Bogor di mata pengunjung sehingga bila dikurangi malah akan membuat Bogor sepi, seperti jaman tahun 1990-an yang baru ada Plaza dan tempat makan Pujasera =D.

Ah, semoga Kota Bogor semakin baik. Karena suatu saat nanti, entah kapan, saya ingin kembali tinggal di Kota Bogor agar bisa bertemu keluarga, teman-teman sekolah/kuliah/kerja kapanpun, tanpa pusing memikirkan ongkos tiket pesawat =D. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun