Saat anak saya TK A, dua orang gurunya luar biasa jempolan. Bagus banget membimbing dan mendampingi siswa. Sampai ada orang tua yang merasa sangat berterima kasih kepada guru-guru tersebut dan memberikan uang untuk urunan dalam jumlah yang sangat besar.
Nah, pas TK B, guru-gurunya agak sedikit cuek. Tidak sebagus saat TK A. Alhasil, orang tua yang tahun lalu memberikan urunan nyaris 10 kali lipat nominalnya dari orang tua lain, tahun itu malah menolak memberikan uang urunan.
Tidak masalah sih seperti itu. Waktu itu kami, orang tua yang memberikan urunan, maklum.
Sebab, kenang-kenangan untuk guru itu memang harus dari hati. Harus ikhlas. Memang ingin memberi. Bukan untuk menyogok, bukan karena tidak enak dengan orang tua lain. Masa orang tua lain ngasih, kita tidak.
Hadiah yang diberikan menurut saya bisa beragam.
Kalau dananya lumayan banyak karena mungkin urunan satu kelas, bisa dibelikan perhiasan emas.
Tidak semua guru suka perhiasan emas. Namun emas kan berharga. Kalau sang guru tidak suka modelnya, atau malah tidak suka mengenakan perhiasan, bisa disimpan untuk investasi, atau malah dijual kembali dan dibelikan barang lain yang diperlukan.
Kadang memberi hadiah itu memang susah-susah gampang.
Kalau dana terbatas, atau kalau dibelikan perhiasan emas terlalu kecil ukurannya, bisa dibelikan barang lain. Bisa buku fiksi atau non fiksi yang temanya disukai guru tersebut, kain batik, jam tangan, barang elektronik, atau bahkan kue atau makanan favorit guru itu.
Barang apapun yang diberi sebagai hadiah biasanya senang-senang saja. Apalagi ini hadiah dari siswa sebagai bentuk ucapan terima kasih. Apapun hadiahnya, pasti akan diterima dengan senang hati.
Betul tidak, Bapak dan Ibu guru? hehe....
Salam Kompasiana! (*)