Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan Sewaktu Kecil, Main, Main, dan Main

19 April 2021   13:41 Diperbarui: 19 April 2021   14:30 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari orami.co.id

Saat kecil Ramadan adalah bulan yang sangat saya nanti. Bukan, bukan karena bulan seribu berkah, bukan pula karena bulan penuh ampunan. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, saya belum begitu mengerti dengan hal-hal yang seperti itu. Walaupun sudah sering dijelaskan oleh guru ngaji dan orang tua, pemahaman saya belum sampai ke sana.

Dulu saya sangat menanti bulan Ramadan karena di bulan yang sangat mulia ini saya bisa puas bermain bersama teman-teman di sekitar rumah, mulai dari subuh hingga azan magrib menjelang. Apalagi sekolah biasanya libur selama satu bulan penuh. Masuk lagi setelah Idulfitri.

Puas Bersepeda

Dulu saat masih duduk di bangku SD, usai menunaikan salat subuh saya bersama teman-teman di sekitar rumah berkeliling naik sepeda. Biasanya kami bersepeda di jalan raya, bukan di lapangan dekat rumah.

Kami bersepeda dari Cipaku, Kota Bogor, hingga Empang atau Pasar Bogor. Konvoi membentuk barisan. Tahun 1990-an, kondisi jalan raya di Bogor belum seramai seperti saat ini. Apalagi subuh-subuh. Sehingga, kami lebih leluasa berkeliling Bogor dengan sepeda. Kami bersepeda sekitar lima hingga tujuh orang.

Seru bersepeda seperti ini. Apalagi kontur jalannya juga menantang. Naik-turun. Terlebih saat melewati turunan empang. Beuh, berasa turun dari roller coaster. Apalagi dulu tahun 1990-an turunan di Empang itu hanya satu arah. Kalau sekarang sudah dua arah. Jadi lebih leluasa ngegoes sepedanya untuk merasakan sensasi turunan yang lumayan curam.

Sesekali kami juga lewat Lolongok, tidak melewati turunan Empang. Kebetulan ada satu teman sekolah kami yang tinggal di daerah situ. Ia punya adik yang lumayan banyak dengan usia yang cukup berdekatan. Mereka suka ikut bermain, sehingga bermainnya jadi lebih seru.

Sekitar pukul 06.00 kami sudah pulang. Atau setidaknya sudah menuju pulang. Sebab, jalan raya sudah mulai ramai. Khawatir juga terserempet motor atau mobil kan. Apalagi para orang tua tidak ada yang tahu kalau kami "sebandel" itu bersepeda hingga ke jalan raya dengan jarak yang cukup jauh dari rumah. Mereka menyangka kami bersepeda di lapangan dekat rumah yang cukup luas.

Padahal kalau bersepeda di lapangan tersebut hanya sore hari, menjelang berbuka puasa. Sekalian jajan, beli buat makanan untuk berbuka puasa. Sore-sore takut juga bersepeda di jalan raya. Apalagi orang tua juga suka beredar. Khawatir tiba-tiba ada yang melihat dan melaporkan kalau kami "bandel" suka bersepeda hingga ke jalan raya.

Bermain Permainan Tradisional

Salah satu hal yang paling disukai saat puasa di kala kecil adalah bisa puas bermain permainan tradisional, mulai dari sondah (engklek), bentengan (gobak sodor), loncat karet, kelereng, petak umpet, congklak, kucing jongkok, bola bekel, hingga ular naga.

Biasanya mulai bermain setelah ashar, baru selesai bermain sekitar pukul 17.30. Permainan yang dimainkan bergantian, kalau hari ini bermain loncat tali, besoknya bentengan, atau petak umpet. Kalau hari ini bermain sondah, besoknya bermain ular naga, atau kucing jongkok.

Biasanya anak-anak kecil di sekitar rumah semuanya ikut bermain, laki-laki maupun perempuan. Semakin banyak yang ikut bermain semakin seru. Tempat bermainnya biasanya bergantian, hari ini di dekat rumah si A, besoknya di dekat rumah si B. Atau kalau ada tempat yang favorit, sedikit lama bermain di tempat tersebut.

Terasa Lebih Meriah

Dulu saat kecil Ramadan terasa lebih meriah. Suasananya terasa lebih hangat. Mungkin karena hampir seluruh kegiatan dilakukan bersama-sama dengan teman-teman sebaya. Tak hanya bermain, salat wajib pun dilakukan secara berjamaah.

Kami biasa salat dzuhur dan ashar di salah satu mushalla dekat rumah. Imamnya bergantian diantara kami. Khusus untuk salat, anak laki-laki tidak ikut. Kami saja anak perempuan. Sebab, tempat salatnya juga berbeda. Anak laki-laki salat di masjid.

Tak hanya semangat melaksanakan salat wajib, kami juga semangat ikut salat tarawih. Biasanya saat salat tarawih kami memisahkan diri dari ibu-ibu kami. Membuat satu shaf khusus anak-anak. Walaupun tidak mengobrol selama salat (karena pasti ditegur), rasanya sangat bahagia bisa bercengkrama dengan teman-teman sebaya di waktu salat tarawih.

Sehabis salat tarawih kami biasanya melanjutkan dengan tadarus. Anak-anak membuat satu lingkaran sendiri. Nanti ada salah satu ustadzah yang membimbing. Kami biasanya membaca Al-Quran bergantian. Idealnya satu halaman per orang. Namun, bila belum begitu lancar hanya sepertiga halaman.

Setelah tadarus kami tidak langsung pulang. Biasanya kami mampir ke salah satu warung dekat masjid atau mushalla. Jajan. Apalagi biasanya masih ada makanan-makanan khas Ramadan yang bisa kami beli. Atau kalau pun sudah habis bisa membeli makanan lain yang tak kalah enak. Atau malah membeli mainan yang nanti bisa kami mainkan bersama-sama sambil menunggu waktu berbuka puasa.

Rasanya kangen dengan suasana Ramadan zaman dulu. Sayang, anak perempuan saya tidak bisa leluasa merasakan keseruan ini. Anak-anak di sekitar rumah hampir tidak ada yang suka bermain permainan tradisional. Paling bermain sepeda, itu pun hanya di sekitaran rumah. Selain itu, ngeri juga membiarkan anak bermain tanpa pengawasan, apalagi hingga ke jalan raya.

Kondisi sekarang berbeda dengan zaman dulu. Dulu rasanya aman-aman saja pergi kemana pun. Kalau pun tersesat banyak orang baik yang menolong. Sekarang pun masih banyak orang baik, tetapi orang jahat semakin berani melakukan aksi. Sekarang bermain di depan rumah tanpa pengawasan orang dewasa pun bisa saja diculik. Sempat kan kejadian di beberapa kota.

Apalagi sudah dua Ramadan ini pendemi Covid-19 menerpa. Anak perempuan saya tidak leluasa bermain di luar rumah dengan anak-anak tetangga untuk ngabuburit. Efeknya, lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah.

Salam Kompasiana! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun