Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menjadi Tua ala Ikang Fawzy

23 Februari 2016   10:17 Diperbarui: 23 Februari 2016   10:43 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tulisan ini terinspirasi oleh postingan seorang dosen ekonomi, yang meskipun masih muda, hanya selisih 3 tahun dari saya tapi beliau sudah profesor, di universitas negeri terkemuka lagi di Yogya, yang mengunggah foto berdua dengan Ikang Fawzy di laman facebook pribadinya. Yang menarik adalah caption pada foto tersebut yang kurang lebih berbunyi demikian: “bersama idola masa remaja”. Yang menarik lagi adalah, sang idola tadi tidak kelihatan sebagai seorang yang sedang bersama fans remajanya, tapi seperti bersama kawan sebaya. Padahal kalau dirunut-runut, Ikang kalau tidak salah menikah dengan Marissa kurang lebih akhir tahun 80an.

Saya masih ingat waktu itu karena tante-tante saya heboh memberitakan hal itu, juga selintas saya baca di majalah wanita yang mereka bawa. Kemudian juga saya baca sekilas di tabloid hiburan terkemuka waktu itu yang kemudian hari dibredel, bahwa pernikahan itu memicu apa yang mereka sebut: “musim kawin para artis”, karena kemudian diikuti dengan perkawinan-perkawinan artis-artis lain. Saya kurang begitu hapal siapa saja itu, tapi setidaknya hal ini menunjukkan bahwa berita mengenai perkawinan mereka cukup heboh dan nyantol dalam ingatan saya. Umur Ikang waktu itu sepantas-pantasnya ya kurang lebih 25 tahunlah, sebagai seorang artis yang sudah cukup malang melintang di dunia film dan nyanyi, kalau tidak salah juga sudah sarjana, seperti juga Marissa yang sarjana juga.

Maksud saya dengan menyebutkan hal itu adalah, bahwa umur Ikang saat ini berarti sekitar awal atau pertengahan 50an, ditambah dengan selisih waktu perkawinan yang sekitar 30 tahun. Lalu kenapa dengan umur tersebut? Di sinilah menariknya, atau masalahnya, karena dalam foto yang diunggah tersebut, tampilan Bung Ikang tampak masih seperti anak muda umur 40an tahun yang trendi dan energik. Hal ini sekaligus membantah stigma dalam pikiran saya dahulu bahwa hanya mereka yang berumur di bawah 40 tahun yang pantas disebut anak muda seperti banyak kalangan juga mengatakan demikian. Dahulu waktu remaja bahkan saya sering terheran-heran dengan ukuran muda yang hingga umur segitu.

Bagi saya, mereka yang sudah menikah dan memiliki anak itu artinya sudah tua. Akibatnya saya jadi sering heran dengan banyaknya orang-orang tua yang menjabat sebagai pengurus KNPI misalnya, yang waktu itu sering sekali berseliweran berita dan wajahnya di TV. Saking seringnya muncul, saya sampai teringat beberapa nama ketua KNPI waktu itu seperti Aulia Rachman, Abullah Puteh maupun Tjahjo Koemolo, yang di kemudian hari ternyata tetap eksis kebanyakan dengan dunia politik yang mereka tekuni.

Kembali pada Ikang, yang meskipun tidak eksis melalui KNPI tapi beliau tetap eksis dalam memori karena menandai salah satu fase pemberontakan masa remaja saya. Terus terang, saya dikenal sebagai anak manis sejak kecil, kemudian ketika masuk SMP, terutama naik kelas 3 saya menjadi begitu sebal dan bosan dengan segala hal yang terasa begitu mengungkung dan menjemukan. Akibatnya timbul rasa pemberontakan, terutama kepada orangtua yang terasa mengekang. Salah satu cara mudah untuk mewujudkan adalah dengan pilihan jenis musik. Dan musik rock adalah pilihan yang paling mudah untuk mewujudkan pemberontakan itu. Saya ingat, dinding kamar saya yang berupa sekat dari triplek itu sampai penuh dengan coretan-coretan tulisan berbagai grup band, baik yang sudah pernah saya dengarkan musiknya maupun baru mendengar namanya, seperti Bon Jovi, Iron Maiden, Judas Priest dan sebagainya. Dari dalam negeri yang paling saya ingat adalah Harri Mukti, dengan lagunya yang sedang ngehits: Lintas Melawai, dan juga Ikang Fawzy!

Saya ingat waktu itu dia lagi ngehits dengan lagunya Preman, setelah sebelumnya sudah cukup dikenal lewat lagu Permata Hitam, maupun lagu cinta yang cukup romantis Rendy dan Cindy, yang sepertinya menceritakan kisah cinta Ikang dan Marissa. Lagu Preman itu, entah mengapa lebih menancap dalam benak saya, juga sepertinya pada banyak orang dibanding Permata Hitam yang menurut saya tidak kalah keren baik dari sisi musik maupun syair. Coba tanyakan pada banyak orang yang hidup pada masa itu, pasti mereka akan ingat syair ini: paks sipaks pak preman preman, paks sipaks pak metropolitan... Lagu itu menceritakan tentang fenomena waktu itu yang sedang dilanda resesi dan kemudian memicu banyak orang bekerja di luar sektor formal, juga yang berada dalam dunia hitam seperti menjadi preman di kota metropolitan. Syair itu juga bicara tentang hal lain, seperti pendidikan, yang walau terasa agak ditempel-tempel, tapi cukup okelah sebagai sebuah kritik sosial yang kenes. Syair itu juga menjadi guyonan banyak orang, misalnya kalau mau mencandai orang untuk digampar mereka bilang: nanti saya sipaks pak lho... Hanya mereka yang mendengarkan lagu Ikang yang akan tahu maksud kata-kata itu, dan saya yakin sebagian mereka yang hidup di era 80an memahaminya.

Lagu itu menjadi begitu terrekam dalam benak karena cukup sukses memprovokasi ibu saya. Saya masih ingat banget dengan reaksi ibu melihat penampilan Ikang di TV yang saya tonton dengan penuh antusias dalam acara Selekta Pop atau Aneka Ria Safari, acara musik yang terkemuka di TVRI waktu itu. Begini komentarnya: kayak orang tidak beragama, jumpalitan gak karuan. Saya yang waktu itu sedang asyik nonton cukup panas juga mendengar celaan itu, dan jawaban saya yang entah saya ucapkan atau tidak waktu itu kalau tidak salah seperti ini: padahal itu nama aslinya Ahmad Fawzy lho. Lihatlah, begitu ngefansnya saya sama Ikang, sampai tahu nama aslinya, yang entah saya bisa tahu dari mana (saya tidak tahu informasi ini benar atau tidak, biar bung Ikang mengklarifikasinya sendiri kalau baca). Ungkapan itu juga menunjukkan betapa defensif dan naifnya jalan pikiran saya waktu itu, yang entah masih terbawa sampai kini atau tidak, yang mungkin dengan mudah dapat dipatahkan oleh para jago debat di dunia maya yang panas sekarang ini: trus kalau memang namanya Ahmad, so what? Ya, so what ya?

Itulah Ikang, salah satu idola masa remaja yang entah mengapa sekarang terasa kembali eksis dalam benak. Ya, dia tetap eksis walaupun belakangan saya tahu kadar rock dari lagu-lagu Ikang sebenarnya hanya suam-suam kuku saja, juga kualitas suaranya cukupanlah, yang seringkali malah menjadi faktor kelebihan dirinya karena diasosiasikan dengan suara Rod Steward yang serak-serak basah itu. Tapi okelah, soal teknis bukan hal yang substantif dalam tulisan sentimentil ini. Dan salah satu TV swasta entah mengapa seperti mengerti kegelisahan saya dengan menyodorkan tampilan si bung itu hari ini dalam acara masak bapak dengan anak, yang meskipun kalah tapi bisa memuaskan mata untuk melihat, apalagi dia dengan anak gadisnya yang cantik itu. Si bung itu dengan segala tampilannya sepertinya ingin menunjukkan bahwa menjadi orang tua (yang cukup sukses mendidik anak-anaknya menjadi ‘orang’, tidak mesti eksis dalam dunia hiburan, tapi juga dalam dunia kreatif seperti animator misalnya) tidak berarti harus tampil menua, tapi bisa tetap bergaya muda.

Bagi banyak orang, kesegaran dan penampilannya bisa menjadi inspirasi, terutama orang-orang yang mulai menua namun sebenarnya tidak rela menjadi tua seperti juga saya. Menjadi tua tidak berarti meninggalkan berbagai kesegaran dan dinamika, juga vitalitas, terbukti Ikang juga menjadi salah satu bintang obat vitalitas pria. Menjadi tua mungkin perlu dalam arti bertambah pengalaman, bertambah matang dalam pemikiran dan perasaan, namun bukan berarti harus tampil menua. Menjadi tua itu pasti, namun menjadi tua bergaya muda itu juga sebuah pilihan yang tidak kurang kerennya. Terserah kita mau pilih yang mana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun