Mohon tunggu...
Humaniora

Intervensi Biblio-counseling: Strategi Inovatif Anti Hoaks Sang Pendidik

13 Oktober 2017   11:25 Diperbarui: 13 Oktober 2017   19:48 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belakangan ini, dunia dihebohkan dengan munculnya berita-berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahanya. Berita-berita tersebut terdiri atas berbagai jenis seperti ujaran kebencian, fenomena obat atau makanan palsu, dan lain sebagainya. Isu-isu ini dikenal masyarakat dengan istilah hoaks. Permasalahan yang muncul adalah mengapa berita begitu mudah masuk pada masyarakat dan berkembang begitu cepatnya? Dari mana sebenarnya sumber munculnya berita hoaks ini?.

Hasil dari penyelidikan pihak berwajib menemukan fakta bahwa penyebar hoaks memang sudah terorganisasi dengan baik. Bahkan ada sebagian dari mereka yang dibayar oleh oknum tertentu untuk sengaja menyebarkan berita tersebut kepada masyarakat. Permasalahan lain yang muncul adalah kebiasaan masyarakat kita yang begitu mudahnya menyebarkan berita-berita tersebut. Kita sering mendengar istilah ‘ jangan lupa, klik like and share’. Kebiasaan ini sejatinya baik, namun jika tidak dilakukan dengan bijak justru akan memacu berkembangnya berita hoaks di lingkungan.

Bijak menggunakan media sosial adalah langkah awal dalam menanggulangi berita hoaks di masyarakat. Akan tetapi, faktanya permasalahan hoaks ini masih menjadi momok di masyarakat. Isu-isu hoaks berkembang secara cepat dari masyarakat umum, akademisi, pendidik, hingga siswa yang masih berada di lingkungan sekolah. Padahal dalam konsep pendidikan, baik akademisi, pendidik, hingga siswa diajarkan akan pentingnya critical thinking dalam menanggapi setiap informasi yang masuk. Melihat kondisi tersebut, penanaman integritas lebih dini dalam menghadapi berita hoaks sangat diperlukan terutama di lingkungan pendidikan (sekolah).

Membangun Kemampuan Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Salah satu proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah adalah membangun insan akademik agar mampu mengelola kemampuan berpikir kritis. Kemampuan yang kritis ini akan membantu pendidik maupun siswa dalam mengelola setiap informasi dan mengkategorikan tingkat keabsahan dari informasi tersebut. Baik pendidik maupun siswa, dituntut wajib memiliki kemampuan ini, karena tuntutan pendidikan mengajarkan siswa untuk menemukan kebenaran sains yang sifatnya relative (perlu pembuktian secara ilmiah).

Permasalahan yang muncul adalah, bagaimana cara yang lebih efektif dalam mengembangkan critical thinking pada lingkungan pendidikan kita? Faktanya sampai saat ini masih banyak pendidik ataupun siswa yang masih dengan mudahnya termakan berita hoaks dan lebih parah lagi kurang bijak dalam penggunaan media sosial. Fenomena klik like and share masih tetap berkembang begitu pesat.

Menanggapi kondisi ini, perlu adanya strategi khusus terutama dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini sekolah. Ada beberapa strategi ilmiah yang bisa digunakan seorang pendidik untuk membentengi diri dalam melawan berita hoaks, serta membantu siswa menganalisis apakah suatu berita dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya atau berita tersebut masuk kategori berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Strategi tersebut melalui biblio-counseling.

Melawan Hoaks dengan Strategi Biblio-counseling.

Kewajiban seorang pendidik selain memberikan kegiatan pengajaran adalah menanamkan nilai-nilai karakter pada siswa. Penanaman karakter tidak hanya mengacu pada kemampuan kondisi kognitif siswa, melainkan bagimana tingkat perubahan afektif siswa dalam menyikapi setiap materi yang telah disampaikan. Konsep biblio-counseling akan membantu guru dalam meningkatkan kemampuan kognitif/critical thinking sekaligus membekali siswa mengembangkan kemampuan afektif.

Istilah Biblio-counseling muncul dari konsep bibliotherapy yaitu istilah yang dilontarkan oleh Samuel Crothers pada 1916 untuk mendeskripsikan penggunaan buku sebagai bagian dari proses konseling (Jackson, 2001 dalam Erriford, 2017). Meskipun terapi ini berorientasi pada membaca, namun terdapat kekhususan sendiri yang membedakan dari konsep membaca pada umumnya. Biblio-counseling akan membawa setiap pembaca pada lima tujuan dasar yang disebutkan oleh Vernon (dalam Erriford, 2017) sebagai berikut: (1) mengajarkan berpikir konstruktif dan positif, (2) mendorong untuk mengungkapkan masalah dengan bebas, (3) membantu klien dalam menganalisis sikap perilakunya, (4) membantu pencarian solusi-solusi alternatif untuk masalah klien, dan (5) memungkinkan klien untuk menemukan bahwa masalahnya serupa dengan masalah orang lain.

Penggunaan metode biblio-counseling dalam konsep pembelajaran di sekolah akan menjadikan proses belajar menjadi berbeda seperti pada umumnya. Pada konsep pembelajaran yang terintegrasi denagn biblio-counseling guru akan mengajak siswa masuk ke dalam empat tahap yang meliputi: identifikasi, pemilihan, presentasi, dan tindak lanjut (Abdulah, dalam Erriford, 2017). Mengacu pada empat tahap tersebut maka seorang guru harus meemiliki kemampuan untuk (1) memilih buku yang akan mampu dipahami sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, (2) merekomendasikan buku yang telah dibaca dan dikuasasi isinya terlebih dahulu oleh guru, (3) guru harus memfasilitasi siswa dalam presentasi dan mengembangkan nilai-nilai psikologis yang akan ditanamkan sesuai tujuan pembelajaran, dan (4) guru perlu mengajak siswa menggarisbawahi esensi dari buku yang dibaca dan bila perlu membuat catatan kecil jika itu akan membantu proses perubahan psikologis pada siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun