Mohon tunggu...
Kosasih Ali Abu Bakar
Kosasih Ali Abu Bakar Mohon Tunggu... Dosen - Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Baca, Tulis, Travelling, Nongkrong, Thinking

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Belajar dari "Melamang"

20 April 2023   07:16 Diperbarui: 20 April 2023   07:23 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Minangkabau sejak dulu terkenal dengan adat istiadat dan kulinernya. Peradaban suatu daerah biasanya dilihat dari kelestarian budayanya. Salah satunya adalah tradisi "Melamang" menyambut Hari Raya Idul Fitri". 

Bila selama ini "Melamang" yang dikenal adalah beras ketan, maka di daerah Lembah Gumanti, Alahan Panjang, Solok menggunakan beras hitam. Biasa disebut "Melamang Beras Hitam". 

Bila menelisik sejarah, belum ada satupun yang dengan pasti menjelaskan tradisi ini secara pasti asal muasalnya. Cerita yang berkembang di masyarakat, tradisi "melamang" ini merupakan buah pikir dari seorang Ulama dalam menjaga kehalalan makanan ketika pertama kali masuk ke daerah Sumatera Barat yang pada waktu itu belum seluruhnya beragama Islam. Sekaligus meningkat silaturahmi di kalangan masyarakat tanpa melihat asalnya. Tradisi "Melamang" sendiri tidak hanya ada di Sumatera Barat", tapi di daerah lain juga, khususnya budaya melayu.

Bila melihat proses "Melamang" itu sendiri, ada banyak hikmah dan pembelajaran disitu. Proses "Melamang" itu sendiri dengan mempersiapkan bahan makanannya, beras hitam, santan, air, dan lain sebagainya yang kemudian diaduk menjadi sebuah kesatuan. Sedangkan proses lainnya, mempersiapkan tungku bakarnya. Pembuatan tungku bakarnya ini cukup sederhana, membuat sebuah palang dari besi tempat bambu-bambu akan dimasak atau dibakar selama berjam-jam. 

Ada beberapa hikmah dari kegiatan "Melamang" ini. "Melamamg" ini membutuhkan bahan yang cukup banyak, di "belakang" atau "dapur" membutuhkan banyak orang tuk persiapannya dan menyatupadukan beras, air, dan penyedapnya menjadi sebuah kesatuan. Biasanya, jumlah bambu yang akan cukup banyak, khususnya dalam acara besar. Karena akan dibagi-bagikan ke sekitar atau di makan secara bersama-sama.

Penyiapan tungku masak juga butuh perhatian, karena api akan cukup besar, maka biasanya dilakukan di halaman rumah. 

Ada tantangan tersendiri dalam memasak lamang ini sendiri. Pemilihan bambu, bambu yang dipilih biasanya bambu yang kulitnya tidak terlalu tebal atau terlalu tipis. Terlalu tebal akan membuat adonan menjadi lama masaknya, mengontrolnya juga lebih sulit. Terlalu tipis juga sama, mudah terbelah bambu karena tidak kuat menahan panasnya api. Hikmahnya, dalam berkehidupan ini, bila kita ingin menuntut ilmu atau menjadi orang yang tangguh, maka "baju" yang digunakan tidak boleh terlalu "tebal" atau "tipis". Artinya dalam pergaulan hidup, harus bisa bergaul dan merasakan panasnya "api" kehidupan, tapi kita tidak ikut terbakar dan tidak juga menjauh darinya.

Dalam "Melemang", itu ada beberapa pembagian tugas yang dilakukan ketika memasaknya atau "membakarnya". Pertama, menjadikan kayu bakar menjadi "arang". Arang itu bila memasak panasnya akan lebih masuk dan merata. Ketika menjadikan kayu itu menjadi arang, maka bambu-bambu tersebut dipanas secara cepat untuk menghilangkan air yang ada agar adonan ketika masak kelak tidak menempel ketika dibuka. Sekaligus memperkuat bambu agar tidak mudah pecah.Setelah itu, sambil menunggu kayu yang dibakar menjadi arang, bambu yang sudah kering dan semakin kuat itu kemudian dimasukkan adonan dengan takaran yang tepat agar ketika masak adonannya tidak keluar.

Hikmahnya, dalam kehidupan ini, perlu ada satu fase yang keras dalam persiapan menuju sebuah kehidupan untuk menjadikan kita lebih kuat menempuh kehidupan kelak. "Baju" kita harus dipersiapkan dengan baik. Fase pembelajaran ini kita harus mau terbakar dengan api besar walau hanya sebentar, ditempa akan kerasnya kehidupan dan mempersiapkan diri untuk itu. Fase dimana menuntut ilmu secara lahir dan batin. Dalam kehidupan ini, tidak selamanya menuntut ilmu, tapi harus bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan. Ilmu yang berguna adalah ilmu yang bisa diimplementasikan bagi kemaslahatan orang banyak.

Pada fase memasak, ada pembagian tugas yang dilakukan. Ada yang menjaga api agar tidak terlalu besar atau terlalu kecil, dengan menambahkan batok kelapa atau kayu-kayu kecil atau menjaga ratanya sebaran arang dan kepanasannya. Ada yang melihat warna bambu dan panas bamnu, bila terlihat seperti akan hangus terbakar maka harus diputar bambunya tuk menjaga tingkat kematangan. Ada yang memutar2 bambu sesuai arahan dan kondisi bambu. Ketiga peran ini harus terus berkoordinasi sambil melihat ujung-ujung bambu, bila bambu sudah mulai keluar adonan yang masaknya dengan kematangan yang merata artinya sudab matang lamangnya dengan baik.

Kehidupan itu perlu dijaga dan bekerjasama. Tanpa itu semua, maka sebagus apapun "baju" yang kita gunakan, maka ia akan pecah dan hidup akan kehilangan makna. Kehidupan yang baik itu dengan menciptakan lingkungan atau ekosistem yang baik. Karena sesungguhnya manusia hidup itu seperti di atas bara api, sebisa mungkin kita menjaga gejolak dalam kehidupan ini secara bersama-sama tidak hanya seorang diri atau berkelompok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun