Mohon tunggu...
Cornelius Vincent
Cornelius Vincent Mohon Tunggu... Pelajar

Pelajar yang ingin memulai menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembangunan Selokan Mataram Pada Masa Jepang

11 Maret 2025   20:01 Diperbarui: 11 Maret 2025   20:01 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selokan Mataram adalah saluran irigasi sepanjang 34,5 kilometer yang menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak, melintasi wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembangunan saluran ini diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada masa pendudukan Jepang, dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas pertanian dan melindungi rakyat dari kebijakan kerja paksa (romusha) yang diterapkan oleh pemerintah militer Jepang saat itu.

Pada awal kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, rakyat menyambut mereka dengan harapan akan pembebasan dari penjajahan Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, Jepang menerapkan kebijakan romusha, yaitu pengerahan tenaga kerja paksa dari rakyat Indonesia untuk mendukung kepentingan perang mereka. Kebijakan ini menyebabkan penderitaan dan penurunan kesejahteraan masyarakat. 

Melihat situasi tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mencari cara untuk melindungi rakyatnya dari kebijakan tersebut. Beliau mengusulkan pembangunan saluran irigasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian, dengan alasan bahwa wilayahnya tidak mampu menghasilkan bahan pangan yang mencukupi kebutuhan penduduk karena masalah pengairan. Sultan berdiplomasi agar diberi bantuan dana untuk membangun sarana irigasi, dengan alibi agar wilayahnya dapat membantu menyumbangkan hasil bumi untuk keperluan militer Jepang. 

Pembangunan Selokan Mataram dimulai pada tahun 1944 dan selesai pada tahun 1945. Proyek ini melibatkan sekitar 2,72 juta orang-hari pekerja yang diupah (sekitar 7.700 pekerja per hari) dan 210 ribu orang-hari untuk pekerja sukarela. Biaya yang diperlukan untuk membangun Selokan Mataram dilaporkan berkisar antara 1,2 hingga 1,5 juta gulden. 

Setelah selesai dibangun, Selokan Mataram mampu mengairi sekitar 15.734 hektar lahan pertanian, terutama persawahan. Luasnya lahan pertanian yang dapat diairi oleh Selokan Mataram memungkinkan petani untuk menanam padi tiga kali dalam setahun dengan hasil panen yang baik. Selain itu, pada tahun 1990-an, pemanfaatan Selokan Mataram berkembang untuk kegiatan perikanan, dengan lahan mencapai sekitar seribu hektar. Bahkan di beberapa tempat dikembangkan model "minapadi" yang menggabungkan teknik budidaya padi dan budidaya ikan secara bersamaan di lahan persawahan. 

Menyadari nilai historis dan strategis Selokan Mataram, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan selokan ini sebagai Struktur Cagar Budaya melalui Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 231/KEP/2021. Pengakuan ini didasarkan pada kontribusi Selokan Mataram dalam membentuk ketahanan pangan dan identitas sosial masyarakat Yogyakarta. Sebagai cagar budaya, Selokan Mataram dilindungi secara hukum untuk memastikan kelestarian fisik dan fungsinya dalam sistem irigasi pertanian.

Pengakuan ini mempertegas posisi Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan dan ketahanan pangan Indonesia. Selokan Mataram menjadi simbol keteguhan dan ketangguhan masyarakat Yogyakarta dalam menghadapi tekanan kolonial, sekaligus bukti kepemimpinan visioner Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan diakuinya Selokan Mataram sebagai cagar budaya, masyarakat Yogyakarta diharapkan terus menjaga dan memanfaatkan selokan ini untuk mendukung pertanian dan kesejahteraan rakyat di masa depan.

Pembangunan Selokan Mataram merupakan salah satu bukti nyata kecerdikan dan kebijaksanaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam menghadapi tekanan kebijakan kolonial Jepang selama masa pendudukan (1942--1945). Melalui strategi diplomasi yang cerdas, Sultan berhasil meyakinkan pemerintah militer Jepang untuk mendukung proyek pembangunan saluran irigasi ini dengan alasan meningkatkan produksi pangan yang juga akan bermanfaat bagi kepentingan perang Jepang. Namun, di balik alasan tersebut, Sultan memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu melindungi rakyat Yogyakarta dari kebijakan romusha atau kerja paksa yang pada masa itu menyebabkan penderitaan besar di berbagai daerah di Indonesia. Dengan melibatkan rakyat dalam proyek ini sebagai tenaga kerja, Sultan tidak hanya memberikan kesempatan kerja yang layak dan terhindar dari romusha, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperbaiki sistem irigasi pertanian yang sudah lama menjadi masalah di wilayah Yogyakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun