Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, peta politik global tergambar ulang oleh gelombang kemenangan partai-partai sayap kanan populis dan perubahan haluan politik di negara-negara demokrasi maju.
Pergeseran ini bukanlah sekadar pergantian kekuasaan politik biasa. Sebaliknya, ia adalah hasil dari krisis legitimasi mendalam terhadap tatanan elit pasca-Perang Dingin, didorong oleh ketegangan ekonomi dan perlawanan budaya.
Kebangkitan ini melampaui sentimen nasionalis lama dimana ia adalah ekspresi reaktif dari kelompok masyarakat yang merasa kehilangan kendali atas identitas dan nasib ekonomi mereka.
Politik Indonesia yang rentan terhadap personalisasi dan isu identitas sewajarnya mengambil pelajaran strategis dari lonjakan kekuatan ini. Â
Krisis Legitimasi Elit
Untuk memahami kemunculan ini, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah bagaimana partai-partai dengan ideologi yang sebelumnya dianggap marginal dapat mencapai sukses elektoral yang mengejutkan di negara-negara demokrasi mapan.
Salah satu jawaban yang mengemuka adalah terletak pada cara partai-partai tersebut menyederhanakan politik. Kemunculan populisme ini paling tepat dibedah menggunakan kerangka populisme.
Akar kemenangan tersebut dijelaskan secara teoritis oleh Ilmuwan politik Cas Mudde (2017), dalam bukunya Populism: A Very Short Introduction, yang membantu kita memahami bahwa populisme adalah "ideologi thin-centered yang menganggap masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang homogen dan antagonistik, yaitu 'rakyat yang murni' versus 'elit yang korup'."
Kunci keberhasilan mereka adalah kemampuan menyederhanakan masalah kompleks menjadi konflik moral biner. Kekosongan ideologis ini menciptakan ruang politik yang leluasa, yang segera diisi oleh gerakan populis yang muncul secara instan, menawarkan narasi keras yang kontras dan menyederhanakan konflik.
Kekuatan retorika ini didukung secara sosiologis oleh teori perlawanan budaya (cultural backlash) yang dikemukakan Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2019). Mereka berpendapat bahwa kemenangan populis dipicu oleh reaksi balik dari kelompok tradisional terhadap perubahan nilai sosial yang terlalu cepat.