Kisah hidup Thurgood Marshall, pengacara hak-hak sipil yang kemudian menjadi Hakim Agung Afrika-Amerika pertama, adalah bukti nyata bahwa strategi hukum yang cerdas dan keberanian yang kuat dapat mengubah nasib sebuah bangsa.Â
Perjalanan Marshall sebagai Kepala Penasihat Hukum untuk organisasi NAACP tidak sekadar tentang memenangkan kasus-kasus biasa, melainkan merancang rencana jangka panjang untuk menghancurkan sistem hukum pemisahan ras yang mengakar di Amerika.
NAACP sendiri merupakan singkatan dari National Association for the Advancement of Colored People (Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Berwarna). Organisasi ini didirikan pada tahun 1909 dan merupakan pelopor dalam perjuangan hak-hak sipil, yang secara khusus memilih jalur pengadilan sebagai medan perang utama mereka.Â
Marshall adalah pimpinan utama tim hukum yang dimiliki organisasi tersebut, membawa kasus-kasus diskriminasi langsung ke meja hijau.
Lahir di Baltimore pada tahun 1908, Marshall merasakan langsung bagaimana diskriminasi bekerja. Penolakan dari University of Maryland Law School karena warna kulitnya menempa tekadnya untuk melawan aturan "separate but equal" (terpisah tapi setara) dari akarnya.Â
Ia belajar di Howard University School of Law di bawah bimbingan Charles Hamilton Houston, tokoh yang merancang strategi hukum hak-hak sipil. Houston mengajari Marshall cara memanfaatkan kelemahan sistem itu sendiri. Rencana mereka cerdas dan dilakukan bertahap.
Awalnya, mereka tidak langsung menuntut penghentian pemisahan ras secara menyeluruh. Mereka justru memulai dengan kasus-kasus di tingkat perguruan tinggi, menuntut agar fasilitas yang terpisah itu benar-benar setara, seperti yang diwajibkan oleh putusan Plessy v. Ferguson (1896).Â
Marshall dan tim hukumnya dari NAACP tahu bahwa negara-negara bagian di Selatan tidak akan pernah mampu atau mau mengeluarkan uang sebanyak yang dibutuhkan untuk membuat fasilitas bagi warga kulit hitam benar-benar sama kualitasnya dengan fasilitas untuk warga kulit putih.Â
Hal ini, seperti dijelaskan dalam biografi Thurgood Marshall: American Revolutionary (Williams: 1998), menciptakan beban biaya yang membuat pemisahan ras menjadi tidak masuk akal secara ekonomi. Strategi "serangan bertahap" ini secara perlahan mengikis dasar hukum pemisahan rasial di Amerika.
Ketegangan di Garis Depan Hukum
Pekerjaan Marshall di lapangan penuh dengan ketegangan yang mencekam. Sebagai pengacara kulit hitam yang berani menantang supremasi kulit putih di Selatan yang rasis, setiap perjalanan yang ia lakukan adalah ancaman fisik yang nyata.Â
Ia sering harus bepergian sendirian, berpindah-pindah rumah aman setiap malam, dan terkadang terpaksa menyamar demi menghindari massa yang marah atau serangan fisik. Hal ini adalah pertaruhan nyawa yang ia terima demi menjalankan sumpah profesinya.
Di ruang sidang, ketegangan terbesar datang dari keharusan untuk mempertahankan ketenangan dan kecerdasan di hadapan hakim dan juri yang terang-terangan berprasangka buruk. Marshall harus selalu bersikap tenang dan tajam. Ia tidak bisa menunjukkan kemarahan, hanya kecerdasan.Â
Dalam kasus-kasus kriminal, seperti ketika ia membela Joseph Spell di Connecticut, ia harus berjuang dari luar batas formal persidangan, membimbing pengacara lokal melalui catatan karena ia belum terdaftar di bar setempat.Â
Keberhasilan dalam kasus yang penuh intrik dan ancaman publik ini membuktikan bahwa ketepatan hukum, jika disampaikan dengan baik, dapat mengalahkan prasangka rasial yang mengakar.
Strategi Menyerang Inti Pemisahan Ras
Puncak dari strategi bertahap Marshall dan NAACP adalah kasus Brown v. Board of Education pada tahun 1954. Ia menyatukan lima kasus segregasi sekolah yang berbeda, menjadikannya satu gugatan kolektif di Mahkamah Agung.Â
Maka, strateginya pun berubah total: dari sekadar menuntut kesetaraan fasilitas, ia kini menantang pemisahan ras itu sendiri sebagai hal yang melanggar hukum.
Tim hukum Marshall, yang terdiri dari para ahli hukum terkemuka dan didukung oleh ahli sosiologi dan psikologi, menyajikan bukti bahwa pemisahan berdasarkan ras, bahkan jika fasilitasnya sama, secara inheren menyebabkan ketidaksetaraan.Â
Mereka berpendapat bahwa pemisahan ras secara psikologis merugikan anak-anak kulit hitam. Selain itu, mereka memasukkan kesaksian ilmiah yang mendukung argumen bahwa pemisahan tersebut menanamkan "perasaan inferioritas" pada anak-anak.
Saat berdiri di hadapan Mahkamah Agung, Marshall harus mengatasi perdebatan historis yang sensitif tentang maksud Amandemen Ke-14 Konstitusi AS. Dalam argumen penutupnya yang terkenal, ia menyampaikan pandangan yang diyakininya: "Satu-satunya hal yang bisa terjadi adalah sebuah determinasi tersembunyi bahwa orang-orang yang sebelumnya menjadi budak... harus dijaga sedekat mungkin dengan tahap itu," seperti tercatat dalam Arguments Before the Court in Brown v. Board of Education (Mahkamah Agung AS: 1952-1954). "Kini saatnya, kami berpendapat, bahwa Mahkamah ini harus memperjelas bahwa Konstitusi kita tidak mendukung hal itu."
Ketegangan mencapai titik tertinggi ketika Mahkamah Agung mempertimbangkan kasus tersebut. Setelah berminggu-minggu pembahasan, keputusan Mahkamah Agung yang bulat diumumkan, menyatakan bahwa pemisahan ras di sekolah umum tidak konstitusional.Â
Kemenangan ini adalah hasil langsung dari strategi bertahap dan puluhan tahun kerja keras tim. Ini adalah kemenangan terbesar dalam sejarah hukum hak-hak sipil, dipimpin oleh Thurgood Marshall.
Warisannya sebagai Hakim Agung
Pengangkatannya ke Mahkamah Agung pada tahun 1967 oleh Presiden Lyndon B. Johnson mengukuhkan Marshall sebagai arsitek hukum dan pejuang hak-hak sipil.Â
Ia menggunakan posisi barunya untuk terus memperjuangkan hak-hak minoritas dan orang miskin, mengingat bahwa "ukuran kehebatan suatu negara adalah kemampuannya untuk mempertahankan kasih sayang di saat krisis," seperti yang ia sampaikan dalam pidato penerimaannya untuk Liberty Award (1992).Â
Selama 24 tahun masa jabatannya, ia adalah suara yang konsisten membela hak-hak individu, menekankan bahwa undang-undang harus mencerminkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan, bukan sekadar tradisi masa lalu.
Kisah Marshall membuktikan bahwa keberanian seorang pengacara tidak hanya terletak pada pidato yang keras, tetapi pada strategi yang tenang dan keyakinan teguh bahwa hukum, pada akhirnya, harus mengejar keadilan bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI