Selain itu, masalah klasik tetap menjadi PR besar: upah minimum yang belum merata, PHK sepihak, hingga lemahnya penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Tantangan ini semakin pelik karena di era AI, perusahaan bisa saja menggunakan alasan “efisiensi teknologi” untuk memotong tenaga kerja tanpa solusi transisi yang jelas.
Gotong Royong sebagai Budaya Industri
Hal lain yang menarik dari jurus Menaker Yassierli adalah penekanan pada hubungan industrial berbasis gotong-royong. Di banyak negara, hubungan buruh dan pengusaha identik dengan tarik-menarik kepentingan. Namun, Yassierli ingin membawa nilai budaya Indonesia: musyawarah, kemitraan yang adil, dan gotong-royong.
Logikanya sederhana: kalau buruh hanya fokus pada upah sementara pengusaha hanya fokus pada profit, konflik tidak akan pernah selesai. Tapi kalau keduanya melihat produktivitas sebagai tujuan bersama, maka solusi bisa dicari tanpa harus selalu bentrok. Serikat pekerja pun tidak lagi dipandang sebagai “oposisi”, melainkan mitra yang bisa mendorong produktivitas.
Bahkan, kementerian kini menyediakan pelatihan produktivitas bagi serikat pekerja. Tujuannya supaya buruh bukan hanya memperjuangkan hak, tapi juga ikut memberi nilai tambah bagi perusahaan dan industri.
Tentu, semua jurus ini tidak bisa berhasil tanpa kerja sama. Pemerintah hanya bisa membuat aturan dan program. Yang menjalankan tetap buruh, pengusaha, dan masyarakat luas. Tapi ada optimisme yang ingin ditanam Menaker Yassierli: dengan reskilling, regulasi yang lebih kuat, dan budaya kerja yang sehat, Indonesia bukan hanya mampu bertahan, tapi juga menjadi negara dengan tenaga kerja yang kompetitif di dunia.
Visi besarnya jelas: Indonesia Emas 2045. Tahun itu, Indonesia diharapkan menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar dunia. Tapi syaratnya, tenaga kerja harus punya kualitas tinggi, terlindungi secara hukum, dan mampu beradaptasi dengan perubahan.
Kalau tidak, ancaman AI hanya akan menambah daftar panjang masalah ketenagakerjaan kita. Namun kalau dijalani dengan strategi yang tepat, AI justru bisa menjadi alat yang membuat pekerjaan lebih efisien, produktif, dan bahkan membuka lapangan kerja baru.
Jangan takut pada AI, tapi juga jangan menganggapnya enteng. Kuncinya ada pada kemauan untuk belajar ulang dan meningkatkan diri. Pemerintah pun sudah menyiapkan jalannya lewat berbagai pelatihan dan regulasi baru.
AI memang ancaman, tapi dengan jurus selamat ala Menaker Yassierli - reskilling, upskilling, perlindungan hukum, dan gotong royong - buruh Indonesia masih punya peluang besar untuk tetap berdiri tegak di tengah badai perubahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI