Perubahan dunia kerja hari ini terasa jauh lebih cepat dibanding beberapa dekade lalu. Kalau dulu buruh atau pekerja hanya khawatir soal upah, PHK, atau kondisi kerja, kini ada tantangan baru yang jauh lebih besar: kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Teknologi ini bukan lagi sekadar wacana futuristik, tapi sudah pelan-pelan mengambil alih banyak tugas manusia. Mulai dari administrasi sederhana, pengolahan data, sampai desain dan konten kreatif, semua bisa dilakukan mesin.
Bagi buruh Indonesia yang mayoritas lulusan SMK, tantangan ini terasa nyata. Bayangkan, penelitian memperkirakan hampir 50 persen pekerjaan saat ini tidak akan relevan dalam 10 tahun ke depan. Artinya, pekerjaan yang kita lihat sehari-hari bisa saja hilang atau berubah drastis sebelum kita sempat menyiapkan diri.
Lalu, apa kabar tenaga kerja kita yang sebagian besar masih mengandalkan keterampilan tradisional? Inilah yang jadi sorotan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dalam berbagai forum. Ia terang-terangan bilang bahwa tanpa strategi khusus, jutaan buruh bisa tergilas oleh gelombang teknologi.
Jurus Selamat: Reskilling dan Upskilling
Menaker Yassierli menyebut jurus selamat utama buruh menghadapi AI adalah dua kata kunci: reskilling (melatih ulang) dan upskilling (meningkatkan keterampilan). Hal itu disampaikannya dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) NU.
Kenapa ini penting? Karena sebagian besar keterampilan yang dimiliki pekerja sekarang tidak cukup untuk menghadapi era ekonomi berbasis IT, ekonomi hijau, ekonomi kreatif, sampai ekonomi perawatan. Misalnya, seorang operator mesin di pabrik harus mulai belajar menggunakan sistem berbasis sensor dan komputer. Atau seorang admin di kantor tidak cukup hanya menguasai Excel, tapi harus paham analitik data dan sistem otomatisasi.
Di sinilah pemerintah berupaya keras menyediakan pelatihan yang relevan. Balai latihan kerja (BLK) sedang didorong berubah menjadi pusat pendidikan keterampilan masa depan. Peserta tidak hanya belajar keterampilan teknis, tapi juga mendapatkan sertifikasi agar kompetensinya diakui industri. Dengan begitu, buruh tidak hanya sekadar “bertahan”, tapi juga punya daya tawar di pasar kerja baru.
Namun, skill saja tidak cukup. AI juga memunculkan bentuk pekerjaan baru yang tidak jelas regulasinya, seperti pekerja platform atau gig economy. Para driver ojek online, kurir, hingga pekerja freelance digital seringkali berada di wilayah abu-abu: mereka bekerja keras, tapi status hukumnya tidak sekuat pekerja formal.
Di sinilah pemerintah sedang menyiapkan undang-undang baru, termasuk untuk pekerja rumah tangga dan pekerja platform. Menaker Yassierli menekankan bahwa perlindungan hukum tidak boleh hanya berlaku bagi pekerja kantoran atau pabrik, tapi juga bagi mereka yang menopang keseharian kita lewat jasa digital.