Dalam kalender Islam, Muharram bukan sekadar awal tahun. Ia adalah bulan suci yang dibuka dengan doa dan ditengahinya dengan kesempatan: untuk membersihkan diri, merefleksikan hidup, dan kembali merajut relasi spiritual kita dengan Allah SWT. Di antara hari-hari istimewa itu, tanggal 9 dan 10 Muharram - dikenal sebagai puasa Tasu'a dan Asyura - menjadi momentum yang sangat penting dalam sejarah, spiritualitas, dan pembentukan karakter umat Islam.
Mengapa Harus Puasa di 9 dan 10 Muharram Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam (SAW) sangat menganjurkan umatnya untuk berpuasa di dua hari tersebut. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau bersabda:
"Puasa pada hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar dapat menghapus dosa setahun yang lalu."Â (HR. Muslim)
Namun Rasulullah juga menambahkan, sebagaimana dalam riwayat lain:
 "Jika aku masih hidup tahun depan, aku akan berpuasa juga pada tanggal 9." (HR. Muslim)
Hal ini menegaskan bahwa puasa Tasu'a dianjurkan agar tidak menyerupai tradisi Yahudi, yang hanya memuliakan 10 Muharram saja. Jadi, puasa Tasu'a dan Asyura bukan hanya perintah spiritual, tapi juga bentuk identitas peradaban.
Puasa ini bukan hanya soal ibadah personal, tetapi merupakan pintu refleksi sosial. Mengapa dosa setahun lalu bisa dihapus hanya dengan satu hari puasa? Ini bukan tentang "murahnya" ampunan Allah, melainkan tentang bagaimana Allah mengajarkan pentingnya taubat, kesadaran diri, dan niat untuk memperbaiki hidup.
Di tengah dunia yang begitu bising dengan konten, perbandingan sosial, dan kelelahan emosional, puasa pada 9 dan 10 Muharram bisa menjadi cara paling tenang untuk menyusun ulang arah hidup.Â
Alih-alih sekadar menjadi rutinitas keagamaan tahunan, puasa ini dapat dijadikan sebagai ritual pembaruan diri: momen untuk menjeda kehidupan yang serba terburu-buru, merefleksikan perjalanan spiritual yang selama ini tertunda, dan merumuskan kembali tujuan hidup yang lebih bermakna. Di sini, kita diajak tidak hanya untuk memperbaiki hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan diri sendiri dan sesama.
Sejarah yang Mencerahkan
Asyura juga mencatat banyak peristiwa besar: Nabi Musa diselamatkan dari Firaun, Nabi Nuh selamat dari banjir besar, hingga kisah tragis terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husain bin Ali di Karbala. Peristiwa-peristiwa ini menanamkan satu pesan utama: bahwa kemenangan selalu berpihak pada kebenaran dan keteguhan iman, meski tampak kalah secara duniawi.
Puasa Tasu'a dan Asyura, dengan demikian, juga menjadi simbol komitmen moral dan spiritual, bahwa dalam kehidupan yang penuh tantangan ini, kesabaran dan keberanian tetap harus dijaga.
Berapa banyak dari kita yang menjadikan tahun baru Islam hanya sekadar pergantian kalender? Padahal, dua hari istimewa ini bisa menjadi titik balik. Saat yang pas untuk mengajukan pertanyaan penting: Sudahkah hidupku memberi manfaat? Sudahkah aku menjadi hamba yang sungguh-sungguh?
Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tapi juga mengatur ulang prioritas, membungkam ego, dan membiasakan diri melihat kehidupan dari kacamata yang lebih tinggi.
Kita mungkin tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi dengan puasa Tasu'a dan Asyura, kita diberi peluang untuk menebusnya. Dosa setahun lalu bisa terhapus bukan karena kita suci, tapi karena kita ingin berubah. Allah mencintai hamba yang mau memulai lagi.
Maka, jika hari ini kita masih diberi kesempatan untuk hidup, bernafas, dan memilih - kenapa tidak memilih untuk memulai ulang dari sini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI