Saya bukan seorang guru. Tapi saya pernah mencicipi sedikit dunia mereka - menyentuh sedikit tanggung jawab yang beratnya tak kasat mata - ketika membantu di sebuah madrasah. Dan dari pengalaman singkat itu, saya tahu bahwa menjadi guru bukan hanya soal menyampaikan pelajaran. Menjadi guru adalah tentang kesabaran, keteguhan hati, dan keikhlasan yang nyaris tak bisa dibayar dengan apa pun.
Pada 12 Juni lalu, saya hadir sebagai tamu dalam acara Pengukuhan 99 Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) di UIN Jurai Siwo Metro, Lampung. Acara yang dari luar tampak formal ini, ternyata menyimpan kekuatan batin yang besar di dalamnya. Salah satu momen yang paling membekas bagi saya adalah saat seluruh hadirin berdiri dan melantunkan lagu Himne Guru bersama.
Lagu itu bukan sekadar lagu. Ketika bait “Engkau pelita dalam kegelapan” terdengar, suasana mendadak hening dan mengharu biru. Saya yang tidak punya gelar kependidikan ikut merinding. Bukan hanya karena kekuatan lirik dan nada, tetapi karena seketika itu juga, wajah-wajah guru saya di masa lalu berkelebat dalam ingatan. Wajah mereka yang dahulu mungkin saya anggap biasa, kini terasa seperti cahaya yang membentuk diri saya hari ini.
Rektor UIN Jurai Siwo Metro, Prof. Dr. Ida Umami, membuka acara dengan sambutan yang dalam. Ia menegaskan bahwa pengukuhan ini bukan seremoni belaka, melainkan tonggak awal perjalanan para calon guru untuk menjadi profesional sejati. Lebih dari itu, beliau menyebut bahwa guru adalah pengemban peradaban. Saya pikir, itu bukan sekadar frasa puitis. Di tengah dunia yang penuh gejolak, guru memang masih menjadi penjaga nilai-nilai kemanusiaan dan pengetahuan yang paling setia.
Sementara itu, Dekan FTIK, Dr. Siti Annisah, memberikan pesan penting: “Mendidik dengan Hati.” Beliau mengingatkan bahwa guru bukan hanya pengajar, tapi juga pembina karakter. Di tengah arus zaman yang mengejar hasil dan kecepatan, pendidikan yang berlandaskan empati dan ketulusan menjadi kebutuhan mendesak.
Saya pun menyadari satu hal penting: Guru bukan hanya pekerjaan. Guru adalah jalan sunyi yang penuh pengorbanan. Mereka hadir dalam hidup kita sebagai pengarah, pendengar, bahkan penyelamat diam-diam. Mungkin mereka tidak memiliki panggung sebesar publik figur, tapi dampaknya jauh lebih dalam dan abadi.
Pada penghujung acara, ketika lantunan ayat suci Al-Qur’an dibacakan dan doa bersama dikumandangkan, saya manfaatkan momen itu untuk mengirimkan Al-Fatihah sebagai hadiah kepada para guru, orang tua, maupun orang-orang yang berpengaruh dalam hidup saya - baik yang masih hidup, maupun yang telah berpulang. Rasanya seperti menggenapkan getaran yang sejak awal telah tumbuh di dada.
Untuk para guru dan calon guru hari ini, izinkan saya menyampaikan pesan sederhana: jangan pernah merasa kecil di tengah dunia yang gemar menepikan profesi kalian. Justru di tangan kalianlah masa depan negeri ini sedang dibentuk, hari demi hari. Teruslah mendidik dengan hati, karena meski tak selalu disorot, cahaya dari seorang guru selalu menemukan jalan untuk bersinar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI